Rabu, 25 April 2012

Teori Demokrasi Robert A. Dahl


Menurut Robert Dahl terdapat lima kriteria untuk mengenali proses pemerintahan sebuah asosiasi agar dapat memenuhi suatu persyaratan sebagai proses Demokrasi yaitu agar semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan kebijakan asosiasi:[1]
1.      Partisipasi efektif, sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagimana seharusnya kebijakan itu dibuat.
2.      Persamaan suara, ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung semua.
3.      Pemahaman yang cerah, dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin.
4.      Pengawasan agenda, setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.
5.      Pencakupan orang dewasa, semua atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh.
Pada masa Orde Baru landasan formalnya adalah Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, serta ketetapan MPRS. Dalam pemerintahan Orde Baru ini Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol di samping tetap menjadi fungsi untuk membantu pemerintah. Golongan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Hak asasi diusahakan supaya berjalan lebih penuh dengan memberikan kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatan. Diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur dan terencana.
Perkambangan lebih lanjut dalam Orde Baru menunjukkan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan ditangan presiden karena presiden Soeharto telah menjadi seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden didalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia. Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Semula prinsip ini diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehinga Golkar dan Orde Baru dapat selalu berkuasa.[2]
Dalam pemilu-pemilu dimasa Orde Baru nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempaan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Setelah fusi partai politik 1973, semua OPP kecuali Golkar menghadapi beberapa kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih. Hal ini disebabkan oleh karena Golkar mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) tidak mendapatkannya.
Dari pengalaman dimasa Orde Baru itu dilihat dari kriteria-kriteria proses demokrasi yang ditulis oleh Dahl diatas, dapat kita analisis bahwa dalam periode pemerintahan Orde Baru itu tidak menerapkan partisipasi efektif dari masyarakat luas, karena semua kekuasaan berada penuh dibawah pemerintahan presiden. Dan dalam kompetisi didalam pemilu golongan PNS tidak mempunyai persamaan hak suara karena dituntuk untuk monoloyalitas dengan memberikan hak suaranya hanya kepada Golkar. Oleh karena itu pemerintahan dimasa Orde Baru itu belum dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis yang seutunya.


[1] Robert A. Dahl. Perihal Demokrasi: Menjalajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat/Robert A. Dahl.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.2001. hal. 52

[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..