Rabu, 25 April 2012

Anne Phillips, The Politics of Presence: The Political Representation of Gender, Ethnicity and Race, Oxford University Press, New York, 1995.


Anne Phillips di dalam bukunya The Politics of Presence: The Political Representation of Gender, Ethnicity and Race, menegaskan  salah satu perdebatan yang paling sengit di ranah demokrasi kontemporer  masih berkutat pada persoalan politik keterwakilan (political presence), dimana persoalannya adalah apakah kelompok-kelompok yang kurang beruntung di masyarakat itu mendapat porsi keterwakilan yang cukup adil.
Dalam hal ini adalah sejauh mana kepercayaan dan preferensi publik tercermin di dalam proses demokrasi itu. Dalam menafsirkan demokrasi, seharusnya tidak perlu melihat siapa dan seperti apa individu yang mengucapkan atau menyampaikannya, namun harus berubah menjadi apa (kebijakan, preferensi dan gagasan) yang mereka wakili, di mana dalam melaksanakannya, harus memenuhi syarat akuntabilitas kepada pada pemilih, dan apa yang disampaikan itu efektif serta mengandung kebenaran. Politik gagasan, menurut Anne, telah membuka jalan bagi politik kehadiran, di mana bagi kalangan yang sebelumnya tidak memiliki suara untuk menyampaikan kepentingannya, akhirnya terlayani secara efektif melalui sistem perwakilan. Sebagai contoh, kaum perempuan dan penduduk kulit hitam/ berwarna, menginginkan keterwakilan yang lebih banyak dari kelompok mereka di dalam parlemen legislatif, dan melihat seluruh kaum kulit putih dan politisi laki-laki sebagai sebuah normalitas adalah masa lalu. 
Anne Philips lebih tertuju kepada siapa yang akan dan mampu mewakili kelompok-kelompok yang termarjinalkan tersebut. Persoalan yang muncul kemudian, ketika ide-ide itu  dibawa oleh kelompok  yang dianggap mampu mewakili suara marjinal tersebut, dan biasanya ide-ide itu dapat dengan mudah diselewengkan oleh para wakil-wakil tersebut. Namun begitu, kaum demokrat yang ‘radikal’ tetap percaya bahwa prinsip keterwakilan itu masih dimungkinkan, lewat apa yang mereka sebut sebagai keterwakilan bayangan yang dapat menjamin semua kepentingan diajukan secara layak.
Kritik kemudian muncul terhadap prinsip keterwakilan bayangan, sebagaimana dilansir oleh Hanna Pitkin. Penekanan berlebihan atas siapa yang menjadi wakil  kita diparlemen, akan melupakan apa yang sebenarnya mereka lakukan disana. Apa yang dilakukan lebih penting ketimbang karakterisitik mereka, terlebih pada pemahaman atas kepentingan sebenarnya dari konstituen mereka. Kritik ini dijawab dengan argument bahwa telah terjadi perubahan orientasi dalam demokrasi perwakilan, dari “siapa” kepada “apa”  (kebijakan, ide-ide) yang mereka kerjakan, sehingga kualitas keterwakilan akhirnya bergantung pada mekanisme pertanggung jawaban yang lebih ketat bagi para politisi untuk berpihak pada opini dari mereka yang diwakilinya.
Namun banyak pandangan yang kemudian masih membela gagasan demokrasi liberal, atau keterwakilan bayangan ini, demi menentang gagasan pentingnya politik kehadiran. Menurut para teroritis konvensional - dalam hal demokrasi keterwakilan - tidak terlalu penting siapa dan jenis kelamin apa yang mengutarakan kepentingan dan perhatian, serta bagaimana kepentingan itu dikalkulasi dan kemudian dirumuskan, yang penting adalah segala keputusan yang muncul mewakili dan memperhatikan kepentingan dari seluruh publik.
Dan inilah yang kemudian menjadi tugas Anne, untuk mengemukakan seperti apa pentingnya politik kehadiran dan menjawab seluruh keberatan terhadap gagasan tersebut. Menurut Anne, kehadiran adalah penting dan sangat direkomendasikan, namun hal itu tidak mencukupi, karena akuntabilitas dari keterwakilan harus didampingi oleh peningkatan jumlah perempuan dan kelompok minoritas yang terpilih di parlemen.
Hal inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai reformasi dalam bentuk system kuota yang kemudian diadopsi oleh sejumlah besar partai-partai politik di Eropa, atau pun di tata ulang kembalinya batasan-batasan atas konsitituen kulit hitam untuk meningkatkan politisi kulit hitam yang terpilih di USA. Tuntutan saat ini bagi keterwakilan politik kebanyakan muncul dari gerakan-gerakan sosial baru. Hal inilah yang membedakan dengan gerakan terdahulu, karena sepanjang kelas sosial dipandang sebagai ketidak setaraan sosial, maka pembagiannya menjadi lebih mudah: posisi liberal atau sosialis. Sekali perhatian berpindah untuk membentuk perbedaan kelompok yang tidak menyetujui penghapusan, alternative yang muncul tak lagi masuk akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..