Rabu, 25 April 2012

International IDEA (ed.i) Ballington Sakuntala dan Kadirgamar-Rajasingham, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Jakarta: AMEEPRO, 2002. Bab 2


Perempuan di seluruh dunia pada setiap tingkat soiso-politik merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik, menemukan kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, budaya dan sosial sering tidak bersahabat atau bahkan bermusuhan dengan mereka. Identifikasi masalah-masalah umum yang dihadapi perempuan ke dalam tiga kategori wilayah: politik, sosio-ekonomi, dan ideologi serta psikologi (atau sosio-kultural). Berikut identifikasi beberapa strategi untuk mengungkap berbagai kendala ini dan menganalisa apa yang dapat dilakukan perempuan begitu mereka masuk dalam parlemen.
Pertama. Kendala-kendala Politik. Laki-laki mendominasi arena politik, laki-laki memformulasikan aturan permainan politik dan laki-laki mendefinisikan standar untuk evaluasi. Keberadaan model yang didominasi laki-laki menyebabkan apakah perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik bergaya laki-laki. Di antara kendala-kendala politik yang dihadapi perempuan, yang utama adalah: Kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan hasil pemilihan, Kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan, terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda, Kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya, seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan, Tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang dibangun dengan baik, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya, maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik khususnya, Hakikat sistem pemilihan, yang barangkali atau tidak mungkin menguntungkan bagi kandidat perempuan.
Kedua. Kendala-kendala Sosio-Ekonomi. Kondisi-kondisi sosio-ekonomi memainkan peran menentukan dalam rekrutmen anggota legislatif perempuan baik dalam demokrasi yang baru maupun demokrasi yang telah lama mapan. Kendala-kendala sosio-ekonomi mempengaruhi partisipasi perempuan dalam parlemen yang selanjutnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kemiskinan dan pengangguran, Kurangnya sumber-sumber keuangan yang memadai, Buta huruf dan terbatasnya akses ke pendidikan dan pilihan profesi, Beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional.
Ketiga. Kendala-kendala Ideologis dan Psikologis. Ketika perempuan menjadi politisi, ia tidak berhenti menjadi perempuan. Keperempuanan ini yang harus berada di tempat pertama, karena ia mengandung kekuatan intelektual dan potensi-potensi kreatif yang berbeda. Kendala-kendala ideologis dan psikologis bagi perempuan dalam memasuki parlemen mencakup hal-hal sebagai berikut: Ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya diberikan kepada perempuan dan laki-laki, Kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri, Persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan “kotor”, Cara bagaimana perempuan digambarkan dalam media massa.
Meniadakan perempuan dari posisi kekuasaan dan lembaga-lembaga yang terpilih, berarti melemahnya perkembangan prinsip-prinsip demokratik dalam kehidupan publik serta mencegah perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Mayoritas lembaga-lembaga yang memerintah didominasi oleh laki-laki yang mengutamakan kepentingan–kepentingan mereka sendiri. Lembaga-lembaga politik pemerintah yang didominasi laki-laki tidak mempromosikan perempuan atau isu-isu perempuan. Jadi tetap penting sekali untuk menekankan bahwa perempuan sendiri harus mengorganisir dan memobilisasi jaringan kerjanya, belajar mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka dengan organisasi-organisasi yang berbeda, dan mendorong mekanisme untuk meningkatkan representasi diri mereka sendiri. .
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik.  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif.[1]
Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999.
Selain persoalan diatas, masalah-masalah berikut bisa ditambahkan:  Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita: Sering dirasakan bahwa sungguh sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran yang non-partisan.
Faktor-faktor keluarga: Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan-hambatan tertentu, khususnya persoalan izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan mereka dan aktifitas tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan penyediaan waktu dan uang yang besar, dan banyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara finansial. Pengecualian terjadi ketika kaum perempuan mendapat jabatan-jabatan yang dianggap menguntungkan secara finansial, seperti terpilih menjadi anggota legislatif.
Sistem multi-partai: Besarnya jumlah partai politik yang ikut bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi di parlemen mempengaruhi tingkat representasi perempuan, karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah kursi yang terbatas itu diantara laki-laki, yang mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat representasi perempuan.


[1] Matland, Richard E. 2001. “Sistem Perwakilan dan Pemilihan Kaum Perempuan: Pelajaran untuk Indonesia”, di dalam Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum. Jakarta: National Democratic Institute dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, hal. 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..