Perempuan di seluruh dunia pada setiap tingkat soiso-politik
merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam
pengambilan keputusan. Perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik,
menemukan kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, budaya dan sosial sering
tidak bersahabat atau bahkan bermusuhan dengan mereka. Identifikasi
masalah-masalah umum yang dihadapi perempuan ke dalam tiga kategori wilayah:
politik, sosio-ekonomi, dan ideologi serta psikologi (atau sosio-kultural).
Berikut identifikasi beberapa strategi untuk mengungkap berbagai kendala ini
dan menganalisa apa yang dapat dilakukan perempuan begitu mereka masuk dalam
parlemen.
Pertama. Kendala-kendala Politik. Laki-laki mendominasi
arena politik, laki-laki memformulasikan aturan permainan politik dan laki-laki
mendefinisikan standar untuk evaluasi. Keberadaan model yang didominasi
laki-laki menyebabkan apakah perempuan menolak politik secara keseluruhan atau
menolak politik bergaya laki-laki. Di antara kendala-kendala politik yang
dihadapi perempuan, yang utama adalah: Kelaziman “model maskulin” mengenai
kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan hasil pemilihan, Kurangnya
dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan,
terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda, Kurangnya
hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya, seperti serikat
dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan, Tiadanya sistem pelatihan dan
pendidikan yang dibangun dengan baik, baik bagi kepemimpinan perempuan pada
umumnya, maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik khususnya,
Hakikat sistem pemilihan, yang barangkali atau tidak mungkin menguntungkan bagi
kandidat perempuan.
Kedua. Kendala-kendala Sosio-Ekonomi. Kondisi-kondisi
sosio-ekonomi memainkan peran menentukan dalam rekrutmen anggota legislatif
perempuan baik dalam demokrasi yang baru maupun demokrasi yang telah lama
mapan. Kendala-kendala sosio-ekonomi mempengaruhi partisipasi perempuan dalam
parlemen yang selanjutnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kemiskinan
dan pengangguran, Kurangnya sumber-sumber keuangan yang memadai, Buta huruf dan
terbatasnya akses ke pendidikan dan pilihan profesi, Beban ganda mengenai
tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional.
Ketiga. Kendala-kendala Ideologis dan Psikologis. Ketika
perempuan menjadi politisi, ia tidak berhenti menjadi perempuan. Keperempuanan
ini yang harus berada di tempat pertama, karena ia mengandung kekuatan
intelektual dan potensi-potensi kreatif yang berbeda. Kendala-kendala ideologis
dan psikologis bagi perempuan dalam memasuki parlemen mencakup hal-hal sebagai
berikut: Ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang
ditetapkan sebelumnya diberikan kepada perempuan dan laki-laki, Kurangnya
kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri, Persepsi perempuan tentang
politik sebagai permainan “kotor”, Cara bagaimana perempuan digambarkan dalam
media massa.
Meniadakan perempuan dari posisi kekuasaan dan
lembaga-lembaga yang terpilih, berarti melemahnya perkembangan prinsip-prinsip
demokratik dalam kehidupan publik serta mencegah perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Mayoritas lembaga-lembaga yang memerintah didominasi oleh laki-laki
yang mengutamakan kepentingan–kepentingan mereka sendiri. Lembaga-lembaga
politik pemerintah yang didominasi laki-laki tidak mempromosikan perempuan atau
isu-isu perempuan. Jadi tetap penting sekali untuk menekankan bahwa perempuan
sendiri harus mengorganisir dan memobilisasi jaringan kerjanya, belajar
mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka dengan organisasi-organisasi
yang berbeda, dan mendorong mekanisme untuk meningkatkan representasi diri
mereka sendiri. .
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti
Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena
persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan,
yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah
tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan
kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan
luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan
tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para
pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam
pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan
pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan
mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif.[1]
Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya
di Indonesia yang masih
sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa
tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi
anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan
dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi
terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di
mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan
masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik
partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan
tidak memperoleh banyak dukungan dari
partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga,
berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi
perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM
dan partaipartai politik untuk memperjuangkan
representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi
wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999.
Selain persoalan diatas, masalah-masalah berikut
bisa ditambahkan:
Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan
wanita: Sering dirasakan bahwa sungguh sulit
merekrut perempuan dengan kemampuan politik
yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai
cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau
memilih peran-peran yang non-partisan.
Faktor-faktor keluarga:
Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan-hambatan
tertentu, khususnya persoalan izin dari
pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan
mereka dan aktifitas tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat
keterlibatan yang tinggi dan penyediaan waktu
dan uang yang besar, dan banyak perempuan sering
memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara finansial. Pengecualian terjadi ketika kaum perempuan mendapat
jabatan-jabatan yang dianggap menguntungkan
secara finansial, seperti terpilih menjadi anggota legislatif.
Sistem
multi-partai: Besarnya jumlah partai politik yang ikut
bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi
di parlemen mempengaruhi tingkat representasi perempuan,
karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah
kursi yang terbatas itu diantara laki-laki,
yang mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat
representasi perempuan.
[1]
Matland,
Richard E. 2001. “Sistem Perwakilan dan Pemilihan Kaum Perempuan: Pelajaran
untuk Indonesia”, di dalam Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum.
Jakarta: National Democratic Institute dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, hal. 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..