G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (ed.), Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing Countries (Beverly
Hills: Sage Publications, 1983)
Cheema
dan Rondinelli menyimpulkan beberapa
hal mengenai desentralisasi dan pembangunan. Mereka berpendapat kebijakan
desentralisasi terbagi atas empat bentuk. Pertama, pendelegasian pembuatan
kebijakan kepada pemerintahan lokal atau unit administrasi. Kedua, memberikan
fungsi perencanaan dan manajemen spesifik kepada organisasi semi-otonom.
Ketiga, melakukan dekonsentrasi berbagai fungsi pembangunan kepada provinsi
atau administrasi distrik. Keempat, bentuk debirokratisasi dimana fungsi yang
sebelumnya dilakukan oleh pemerintah diserahkan kepada lembaga swadaya atau
sektor swasta.
Desentralisasi
dapat efektif jika agen dan aktor-aktor pada level regional dan lokal telah
membangun suatu kapasitas dalam efektivitas perencanaan, pembuatan kebijakan,
dan fungsi manajemen yang secara formal diberikan kepada mereka. Kefektifan
sebagai partisipan dalam sistem desentralisasi tergantung dari kemampuan organisasi
lokal dalam mengidentifikasi permasalahan dan kesempatan pembangunan,
mengidentifikasi atau menciptakan solusi terhadap permasalahan pembangunan,
membuat kebijakan dan menyelesaikan konflik-konflik, memobilisasi sumber daya,
mengatur program dan proyek pembangunan.
Keberhasilan
implementasi dari desentralisasi membutuhkan beberapa kerjasama dan koordinasi
agen-agen nasional, regional, dan lokal. Untuk mencapai keberhasilan tersebut,
prosedur perencanaan, pengimplementasian dan evaluasi harus ada standarisasi
sehingga agen-agen pada level yang berbeda dapat berkoordinasi. Fungsi-fungsi
tersebut harus dialokasikan agar mendapat keuntungan bagi penguatan agen-agen
di berbagai level pemerintahan.
Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi
yang mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat
ke pemerintah daerah. Titik pusat inovasipun beralih ke tingkat daerah, dimana
pemerintahnya memiliki lebih banyak kewenangan untuk membuat perubahan (baik
yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah negara dengan populasi 220 juta
jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan wewenang ini
merupakan potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan layanan
publik. Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998,
termasuk lengsernya Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999
tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar yang
diperlukan bagi program desentralisasi administratif, keuangan dan politik.
Pada tahun 2001, serangkaian kebijakan dan perundangan nasional diberlakukan
sehingga desentralisasi menjadi suatu realitas.
Proyek Air Bersih dan Sanitasi bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah Tahap Kedua (WSLIC), yang merupakan kerjasama antara Bank Dunia dengan
Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS),
Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan, dan
Departemen Keuangan mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2000. Proyek
ini bertujuan untuk: meningkatkan derajat kesehatan, produktivitas, dan
kualitas hidup masyarakat miskin di pedesaan yang kurang mendapat akses air
bersih dan sanitasi dasar, seluruh kegiatannya berfokus pada upaya memperbaiki
PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), meningkatkan akses air bersih dan
sanitasi dasar, juga meningkatkan partisipasi masyarakat.
Di kabupaten Lumajang, Jawa Timur, proyek ini dimulai pada tahun
2002, dan saat ini 75 persen warga di desa-desa sudah memiliki akses air bersih
yang disediakan oleh proyek WSLIC (meskipun rasio jumlah tangki air berbanding
jumlah rumah tangga masih cukup tinggi, yaitu antara 25 sampai 43 berbanding
1). Setidaknya jarak yang ditempuh warga untuk mendapat air sudah berkurang dan
kualitas air juga meningkat. Kualitas hidup masyarakat mengalami peningkatan,
dalam hal waktu yang diperlukan untuk mencari air berkurang, penghasilan dan
tabungan bisa bertambah dan pikiran mereka menjadi lebih tenang. Salah satu hal
yang menarik, tersedianya air bersih menjadi salah satu faktor yang mendorong
keberadaan Taman Kanak-Kanak baru di dua desa di Lumajang, karena sekarang
orang tua sudah bisa meluangkan waktu dan uang untuk mengantar anak-anak mereka
ke sekolah dan membayar guru. Rasa kepemilikan terhadap sarana air bersih yang
dirasakan warga juga meningkat, bahkan ada yang bersedia menaikkan iuran
pemeliharaan agar bisa membiayai fasilitas yang lebih mahal.
Namun kesinambungan proyek ini masih menjadi suatu pertanyaan yang
belum terjawab, mengingat di satu desa masih timbul masalah-masalah pengelolaan
dan perawatan, sementara sedikitnya di satu desa lain, Unit Pengelola Sarana
(UPS) hanya dibayar jika ada kerusakan pada fasilitas air, sehingga mengurangi
komitmen petugas. Selain itu, sulit untuk mengatakan apakah proyek ini
benar-benar telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan warga, karena data
yang mendukungnya juga tidak memadai. Memang perilaku hidup sehat dikalangan
masyarakat telah membaik sejak proyek dimulai, tapi kemungkinan besar hal ini
lebih disebabkan oleh tersedianya air bersih, daripada kegiatan di bidang
kesehatan lain yang juga merupakan bagian dari proyek ini. Salah satu tujuan
proyek, yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat, telah berhasil membuat warga
menjadi lebih berinisiatif dalam meningkatkan aspek-aspek kehidupan desa yang
lain.
Adapun faktor-faktor yang mendukung keberhasilan proyek ini yaitu
besarnya dukungan tokoh masyarakat, sarana air bersih yang dirancang dengan
baik, peraturan pemakaian air yang
efektif, peranan UPS (di sebagian besar lokasi), juga adanya proses pemilihan
pendukung proyek yang sudah dilakukan dengan cermat di tingkat desa, kemudian
yang terakhir, pemberlakuan desentralisasi dari tingkat pusat. Pada awalnya,
sejumlah warga masih enggan untuk berpartisipasi dalam proyek ini, antara lain
karena: tingginya biaya pemeliharaan yang tidak sesuai dengan perkiraan, adanya
pengalaman buruk dengan proyek-proyek air bersih sebelumnya.
Sementara
pada beberapa kasus, sejumlah anggota UPS menjadi tidak termotivasi untuk
menjalankan tugasnya, karena bukan penduduk asli desa tersebut, atau karena
tidak mendapat bayaran secara berkala. Ketergantungan yang tinggi pada fasilitator
dan dukungan dana dari luar juga bisa mengancam kesinambungan proyek ini,
sementara untuk menilai hasilnya masih sangat sulit, apalagi tanpa adanya
standar atau pemantauan yang efektif—terutama untuk menilai dampaknya bagi
kelompok sasaran khusus, yaitu perempuan, anak-anak, dan warga miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..