Rabu, 25 April 2012

Desentralisasi dan Pembangunan



G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (ed.), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries (Beverly Hills: Sage Publications, 1983)

Cheema dan Rondinelli menyimpulkan beberapa hal mengenai desentralisasi dan pembangunan. Mereka berpendapat kebijakan desentralisasi terbagi atas empat bentuk. Pertama, pendelegasian pembuatan kebijakan kepada pemerintahan lokal atau unit administrasi. Kedua, memberikan fungsi perencanaan dan manajemen spesifik kepada organisasi semi-otonom. Ketiga, melakukan dekonsentrasi berbagai fungsi pembangunan kepada provinsi atau administrasi distrik. Keempat, bentuk debirokratisasi dimana fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah diserahkan kepada lembaga swadaya atau sektor swasta.
Desentralisasi dapat efektif jika agen dan aktor-aktor pada level regional dan lokal telah membangun suatu kapasitas dalam efektivitas perencanaan, pembuatan kebijakan, dan fungsi manajemen yang secara formal diberikan kepada mereka. Kefektifan sebagai partisipan dalam sistem desentralisasi tergantung dari kemampuan organisasi lokal dalam mengidentifikasi permasalahan dan kesempatan pembangunan, mengidentifikasi atau menciptakan solusi terhadap permasalahan pembangunan, membuat kebijakan dan menyelesaikan konflik-konflik, memobilisasi sumber daya, mengatur program dan proyek pembangunan.
Keberhasilan implementasi dari desentralisasi membutuhkan beberapa kerjasama dan koordinasi agen-agen nasional, regional, dan lokal. Untuk mencapai keberhasilan tersebut, prosedur perencanaan, pengimplementasian dan evaluasi harus ada standarisasi sehingga agen-agen pada level yang berbeda dapat berkoordinasi. Fungsi-fungsi tersebut harus dialokasikan agar mendapat keuntungan bagi penguatan agen-agen di berbagai level pemerintahan.
Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat ke pemerintah daerah. Titik pusat inovasipun beralih ke tingkat daerah, dimana pemerintahnya memiliki lebih banyak kewenangan untuk membuat perubahan (baik yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah negara dengan populasi 220 juta jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan wewenang ini merupakan potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan layanan publik. Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998, termasuk lengsernya Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar yang diperlukan bagi program desentralisasi administratif, keuangan dan politik. Pada tahun 2001, serangkaian kebijakan dan perundangan nasional diberlakukan sehingga desentralisasi menjadi suatu realitas.
Proyek Air Bersih dan Sanitasi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Tahap Kedua (WSLIC), yang merupakan kerjasama antara Bank Dunia dengan Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan, dan Departemen Keuangan mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2000. Proyek ini bertujuan untuk: meningkatkan derajat kesehatan, produktivitas, dan kualitas hidup masyarakat miskin di pedesaan yang kurang mendapat akses air bersih dan sanitasi dasar, seluruh kegiatannya berfokus pada upaya memperbaiki PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), meningkatkan akses air bersih dan sanitasi dasar, juga meningkatkan partisipasi masyarakat.
Di kabupaten Lumajang, Jawa Timur, proyek ini dimulai pada tahun 2002, dan saat ini 75 persen warga di desa-desa sudah memiliki akses air bersih yang disediakan oleh proyek WSLIC (meskipun rasio jumlah tangki air berbanding jumlah rumah tangga masih cukup tinggi, yaitu antara 25 sampai 43 berbanding 1). Setidaknya jarak yang ditempuh warga untuk mendapat air sudah berkurang dan kualitas air juga meningkat. Kualitas hidup masyarakat mengalami peningkatan, dalam hal waktu yang diperlukan untuk mencari air berkurang, penghasilan dan tabungan bisa bertambah dan pikiran mereka menjadi lebih tenang. Salah satu hal yang menarik, tersedianya air bersih menjadi salah satu faktor yang mendorong keberadaan Taman Kanak-Kanak baru di dua desa di Lumajang, karena sekarang orang tua sudah bisa meluangkan waktu dan uang untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah dan membayar guru. Rasa kepemilikan terhadap sarana air bersih yang dirasakan warga juga meningkat, bahkan ada yang bersedia menaikkan iuran pemeliharaan agar bisa membiayai fasilitas yang lebih mahal.
Namun kesinambungan proyek ini masih menjadi suatu pertanyaan yang belum terjawab, mengingat di satu desa masih timbul masalah-masalah pengelolaan dan perawatan, sementara sedikitnya di satu desa lain, Unit Pengelola Sarana (UPS) hanya dibayar jika ada kerusakan pada fasilitas air, sehingga mengurangi komitmen petugas. Selain itu, sulit untuk mengatakan apakah proyek ini benar-benar telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan warga, karena data yang mendukungnya juga tidak memadai. Memang perilaku hidup sehat dikalangan masyarakat telah membaik sejak proyek dimulai, tapi kemungkinan besar hal ini lebih disebabkan oleh tersedianya air bersih, daripada kegiatan di bidang kesehatan lain yang juga merupakan bagian dari proyek ini. Salah satu tujuan proyek, yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat, telah berhasil membuat warga menjadi lebih berinisiatif dalam meningkatkan aspek-aspek kehidupan desa yang lain.
Adapun faktor-faktor yang mendukung keberhasilan proyek ini yaitu besarnya dukungan tokoh masyarakat, sarana air bersih yang dirancang dengan baik, peraturan pemakaian air  yang efektif, peranan UPS (di sebagian besar lokasi), juga adanya proses pemilihan pendukung proyek yang sudah dilakukan dengan cermat di tingkat desa, kemudian yang terakhir, pemberlakuan desentralisasi dari tingkat pusat. Pada awalnya, sejumlah warga masih enggan untuk berpartisipasi dalam proyek ini, antara lain karena: tingginya biaya pemeliharaan yang tidak sesuai dengan perkiraan, adanya pengalaman buruk dengan proyek-proyek air bersih sebelumnya.
Sementara pada beberapa kasus, sejumlah anggota UPS menjadi tidak termotivasi untuk menjalankan tugasnya, karena bukan penduduk asli desa tersebut, atau karena tidak mendapat bayaran secara berkala. Ketergantungan yang tinggi pada fasilitator dan dukungan dana dari luar juga bisa mengancam kesinambungan proyek ini, sementara untuk menilai hasilnya masih sangat sulit, apalagi tanpa adanya standar atau pemantauan yang efektif—terutama untuk menilai dampaknya bagi kelompok sasaran khusus, yaitu perempuan, anak-anak, dan warga miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..