Pada awal tahun 2007, 17,2 persen dari seluruh anggota majelis rendah atau
tunggal dari beberapa parlemen
di 190 negara adalah perempuan. dengan demikian, wanita berbagi kursi di parlemen masih
sangat jauh lebih rendah yang diperlukan
untuk kesetaraan antara kedua
jenis kelamin. Angka-angka Inter-Parliamentary Union juga menunjukkan bahwa banyak
negara yang menggunakan sistem PR
hanya mencapai proporsi sederhana anggota legislatif perempuan dan, apalagi, bahwa negara-negara
seperti banyak mengungguli
oleh mereka dengan sistem mayoritas. Selain itu, semakin
banyak sarjana berpendapat bahwa
studi sebelumnya mungkin telah membesar-besarkan sejauh mana sistem pemungutan suara dapat mempromosikan
atau menghalangi pencapaian kehadiran substansial perempuan
di parlemen.
Tujuan menyeluruh Women and Legislative Representation:
Electoral System, Political Parties and Sex Quotas adalah untuk memeriksa efek dari sistem voting pada proporsi perempuan dalam parlemen nasional, sementara juga
memperhitungkan peran variabel lain (budaya, sosial
ekonomi, dan politik).
Perempuan dan representasi legislatif mengejar tiga
tujuan sekunder. Pertama,
pekerjaan bertujuan untuk menilai dan
mengeksplorasi pendapat bahwa sistem PR mendukung
perempuan masuk ke parlemen. Gagasan ini secara
luas diambil untuk diberikan dalam
karya-karya mempelajari pemilihan
perempuan dalam politik. Pemeriksaan
kritis melibatkan mengidentifikasi dan mengevaluasi validitas efek yang
bisa membuat semacam hubungan,
seperti hipotesis bahwa menutup daftar mendorong pemilihan
perempuan. Hal ini juga mengharuskan
kita untuk menilai wajar argumen bahwa mayoritas sistem voting tidak mendukung pemilihan perempuan.
Kedua, Perempuan dan representasi legislatif bertujuan untuk mengevaluasi peran variabel lain -
budaya, sosial ekonomi, dan politik - dalam
pemilihan perempuan untuk kursi
parlemen, dengan perhatian khusus pada kedua partai politik dan kuota. Tujuan sekunder ini mengeksplorasi
ide bahwa sistem voting tidak otomatis menentukan proporsi perempuan di parlemen, tetapi mereka memberikan kontribusi untuk
menentukan hal itu, meskipun dalam kombinasi dengan faktor-faktor lain, terutama partai politik permintaan untuk kandidat dan kuota seks.
Jika sistem suara
perhatian persaingan antar partai, itu adalah partai
politik yang bertanggung jawab untuk
kompetisi antar partai. Selanjutnya, ketika benar dirancang dan dilaksanakan, kuota (hukum dan kuota partai)
mungkin memainkan peran kunci dalam feminisasi di arena parlemen.
Yang ketiga yaitu menyajikan studi kasus yang relevan.
Keterwakilan perempuan dalam
parlemen sendiri tak dapat dilepaskan dari konsep tentang
perwakilan dalam politik. Mengacu pada hasil studi dari Pitkin di tahun 1967,
Manon membedakan empat makna dari keterwakilan politik, mulai dari yang
bersifat simbolik, formal, deskriptif hingga substanstif. Bagaimana perempuan
memperoleh keterwakilan secara signifikan dalam parlemen, menurut Manon akan
terungkap dari makna keterwakilan mana yang dipilih suatu
Negara. Dari keempat makna keterwakilan tersebut, keterpilihan perempuan secara
normative merupakan hal yang menjadi tuntutan mendasar dan dianggap sebagai
bagian tak terpisahkan dari makna keterwakilan politik. Misalnya, jika dalam
pandangan makna deskriptif sebuah lembaga legislatif dikatakan sudah
representatif jika menampilkan miniatur dari model masyarakatnya, maka proporsi
kehadiran perempuan dalam parlemen akan dianggap sebagai indikator dari
kualitas representasi politik Negara yang bersangkutan.
Hal yang juga kemudian turut menentukan keterpilihan perempuan adalah system pemilihan (electoral
system) dianut, dan hal ini
menyangkut makna perwakilan secara formal. Ada 3 tipe mendasar dari sistem
pemilihan yang dipraktekkan di
dunia ini: majoritarian system,
system representasi proporsional (PR), atau system campuran (MM). Ada fenomena dimana lebih sedikitnya tingkat keterwakilan
perempuan akibat system mayoritas dibandingkan system PR. Hal ini dikarenakan
oleh karakteristik system ini. Pada sistem mayoritas tunggal, hanya satu nama
kandidat yang dicantumkan oleh system ini, dibandingkan system PR yang
mencantumkan sejumlah nama. Satu nama yang dicantumkan ini, diutamakan mereka
yang dianggap paling dapat diterima, dan rata-rata, bukan perempuan. Jika PR
dianggap lebih kondusif terhadap kandidat perempuan, yang perlu diingat,
polanya tidak lah universal. Meski diakui, sejumlah karakteristik system ini
jauh lebih kondusif bagi keterwakilan perempuan di parlemen, seperti besaran
dari distrik pemilihan (district magnitude)
yang memperbesar peluang perempuan memasuki parlemen.
Meski berbagai studi menunjukkan bahwa system PR menghasilkan keterpilihan
perempuan yang lebih besar di parlemen, sejumlah studi yang lain juga
memperlihatkan pandangan yang lebih kompleks tentang asosiasi antara system
tersebut dengan keberadaan perempuan yang lebih substansial di parlemen. Oleh
karena itu, penjelasan tentang system pemilihan saja tidak mencukupi. Sejumlah
studi berikutnya memperlihat kan
bahwa keterlibatan perempuan di arena politik juga ditentukan oleh faktor-faktor kultural, sosioekonomi dan
politik, yang saling berinteraksi untuk menciptakan dinamika keterpilihan
perempuan.
Faktor kultural memperlihatkan sejumlah indikator seperti nilai-nilai,
kepercayaan dan sikap yang mendasari tindakan masyarakat dan secara khusus
nilai agama, pendidikan dan pandangan gender diasumsikan berpengaruh besar
terhadap keterlibatan perempuan di parlemen. Faktor sosio ekonomi dianggap
memiliki asumsi positif; semakin tinggi tingkat sosio ekonomi perempuan, maka
semakin tinggi pula keterpilihan perempuan di parlemen, Sementara faktor politik berpijak pada dua dimensi yang
menentukan: hak politik kaum perempuan dan rejim politik yang berlangsung,
dimana dimensi kedua inilah yang justru lebih menarik minat para peneliti
ketimbang yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..