Salah
satu karya Habermas yang banyak
mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms : Contribution to a
Discourse Theory of Law and Democracy. Buku itu telah menjadi bukti
komitmen Habermas terhadap negara
hukum demokratis. Faktizitas und Geltung
lahir dari asumsi Habermas bahwa
“negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa demokrasi
radikal”.[1]
Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan
kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi masyarakat
sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat
signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan
publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara
diskursif.
Kata
“deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya
“konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat
deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan
publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosa kata
teoritis Habermas – “diskursus
publik”.
Sistem
pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation
of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu
kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian
dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan
konsentrasi kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam
sistem itu adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu
terpengaruh oleh arus besar suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses
yang cukup untuk turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh
ketiga pemegang kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang
memegang kekuasaan “hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena
memang jaring-jaring politik yang menghubungkan antara rakyat dengan
pusat-pusat kekuasaan belum terbentuk.
Habermas,
menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses
pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif
yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui
diskursus-diskursus. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang
akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus di dalam
masyarakat.
Di
samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif
melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan
komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi
massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem
politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap
diskursus-diskursus masyarakat sipil.[2] Sebaliknya
masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam
negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi.
Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun
dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Dominasi
negara atas masyarakat adalah ciri utama Orde Baru. Pengawasan negara atas
masyarakat berjalan secara ekstensif. Campur tangan pemerintah ada di seluruh
wilayah kehidupan sehari-hari. Kepala Desa diangkat sebagai klien negara yang
mengontrol dan memantau hampir seluruh kegiatan masyarakat. Untuk melamar
pekerjaan, seorang warga perlu mandapat rekomendasi dari pejabat militer dan
sipil. Hal serupa diperlukan pula untuk menikah, memasuki sekolah, pindahan dan
lain-lain. Birokrasi militer maupun sipil era Orde Baru mengontrol masyarakat
dengan berbagai cara. Dominasi dan tekanan negara membuat organisasi otonom
dalam masyarakat sulit berkembang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ruang
publik bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan diskursus-diskursus yang
diperlukan dalam masyarakat demokratis nyaris tidak tersedia, karena yang
selalu ada adalah kontrol dan tekanan.
Setelah
Orde Baru runtuh, gelombang euforia politik menuntut terbukanya ruang publik
dalam kontelasi politik Indonesia. Yang muncul kemudian bukannya ruang publik,
tetapi ruang elit, dengan kata lain liberalisasi muncul untuk digunakan sekadar
mewadahi syahwat politik kaum elit untuk bertarung di wilayah kekuasaan. Orde
Baru memang sudah runtuh, dominasi atas masyarakat sudah runtuh pula, tetapi
kebebasan yang ada hanya menjadi ruang pertarungan elit politik untuk meraih
dominasi politiknya, namun mayoritas masyarakat tidak mendapat kue kebebasan
itu.
Melihat problem hegemoni
elit di atas, demokrasi deliberatifnya Habermas, menawarkan “titik-titik
sambungan komunikatif” diantara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini
diblokade oleh kepentingan-kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos
saluran-saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di
dalam Ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan
dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, kebebebasan
berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk
rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah,
independensi, dan keadilan sistem hukum dalam apa yang disebutnya “ruang publik
politik”.[3]
[1] Jurgen Habermas, Between Facts and Norms :
Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (Cambridge
: MIT Press, tth), hlm. 54
[2] Franz Magnis-Suseno, “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis,
No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 12-13
[3] Jurgen Habermas, Theory of Communicattive
Action, (Boston : Beacon, 1984), hlm. 75-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..