NASKAH REKOMENDASI KEBIJAKAN
Latar Belakang
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengamanatkan bahwa warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa
wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Konsekuensi dari
amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat
pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat.
Pendidikan
merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan
jangka panjang. Namun, masih banyak orang miskin yang memiliki akses terbatas
dalam memperoleh pendidikan bermutu, antara lain karena mahalnya biaya
pendidikan. Pemerintah dan berbagai pihak, termasuk masyarakat, telah
memberikan kontribusi bagi penyediaan fasilitas dan pembiayaan pendidikan,
sehingga saat ini lebih dari 90% anak usia 7–12 tahun sudah bersekolah. Menyadari pentingnya
menjaga agar anak-anak dari keluarga miskin dapat tetap bersekolah dan
setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, berbagai pihak,
khususnya pemerintah, memberikan bantuan beasiswa sekolah. Sejak Tahun Ajaran
(TA) 1998/1999 hingga 2002/2003, pemerintah memberikan beasiswa bagi murid
miskin dalam jumlah cukup besar melalui Program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
Bidang Pendidikan. Program ini dirancang untuk mengurangi dampak krisis ekonomi
yang terjadi mulai 1997 yang mengancam keberlanjutan pendidikan bagi anak-anak
keluarga miskin dan keluarga yang jatuh miskin akibat krisis tersebut.
Kebijakan
pembangunan bidang pendidikan dalam kurun waktu
2004 - 2009 diprioritaskan pada peningkatan akses masyarakat terhadap
pendidikan dasar yang lebih berkualitas
memalui Peningkatan Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini
dirasakan kurang dapat menjangkau layanan pendidikan dasar. Kebijakan ini
dilakukan dikarenakan bersamaan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang
diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok lainnya yang berkorelasi
negatif terhadap kemampuan daya beli masyarakat kurang mampu /
miskin, sehingga kondisi semacam
ini akan dapat menghambat upaya Penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun, hal ini juga diperparah dengan bertambahnya jumlah
penduduk miskin. Sehingga kedua permasalahan tersebut mempunyai dampak terhadap
penduduk kurang mampu/miskin akan semakin sulit untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya khususnya biaya pendidikan.
Berangkat
dari permasalahan tersebut di atas, Pemerintah telah mengurangi subsidi bahan
bakar minyak (BBM) dan merealokasi sebagian besar dananya ke empat program
besar yang dirancang untuk mengurangi beban
masyarakat, khususnya masyarakat miskin, akibat peningkatan harga BBM.
Keempat program tersebut adalah untuk bidang pendidikan, kesehatan,
infrastruktur perdesaan, dan bantuan langsung tunai. Salah satu program di
bidang pendidikan yang mendapat alokasi anggaran cukup besar adalah Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Melalui program ini, pemerintah pusat
memberikan dana ke sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP yang bersedia memenuhi
ketentuan yang telah ditetapkan dalam persyaratan peserta program. Sekolah yang
dicakup dalam program ini adalah SD/MI/SDLB/salafiyah setingkat SD dan
SMP/MTS/SMPLB/salafiyah setingkat SMP, baik negeri maupun swasta.
Program
ini mulai dilaksanakan pada Juli 2005 bersamaan dengan awal tahun ajaran
2005/2006. Secara konseptual Program BOS berbeda dengan program kompensasi
pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan sebelumnya.
Sampai dengan tahun anggaran 2004/2005,
PKPS-BBM bidang pendidikan untuk tingkat SD dan SMP diberikan dalam bentuk
beasiswa bagi siswa miskin, yang dikenal dengan sebutan Bantuan Khusus Murid
(BKM). Jumlah siswa miskin yang mendapat BKM ditetapkan oleh pemerintah pusat
berdasarkan indeks kemiskinan. Pada tahun ajaran 2004/2005, BKM diberikan
kepada sekitar 20% siswa SD dan 24% siswa SMP, dengan nilai beasiswa Rp.60.000
per semester per siswa tingkat SD dan Rp.120.000 per semester per siswa tingkat
SMP. Setiap sekolah yang mendapat kuota tertentu, melakukan seleksi siswa yang
berhak menerima. Selanjutnya dana BKM diberikan langsung kepada siswa terpilih
melalui kantor pos yang ditunjuk.
Program
BOS mengadopsi pendekatan yang berbeda dengan BKM karena dana tidak diberikan kepada siswa miskin tetapi diberikan kepada
sekolah dan dikelola oleh sekolah. Jumlah dana BOS yang diberikan ke
sekolah dihitung berdasarkan jumlah murid di
masing-masing sekolah. Tujuan
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah untuk membebaskan biaya
pendidikan bagi siswa miskin / tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang
lain, agar mereka memperoleh layanan Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
bermutu.
Identifikasi Masalah
Sejak dilaksanakan pada Tahun 2005, Program ini selalu
berada dalam proses perbaikan terus menerus. Perbaikan-perbaikan baik dalam
sistem/mekanisme, persyaratan, peruntukan, dan satuan biaya atau nilai
nominalnya di APBN mengalami kemajuan. Dan kesungguh-sungguhan Pemerintah ini
cukup nampak dari terjadinya perubahan-perubahan kebijakan, di setiap
tahunnya. Namun, meskipun telah
diupayakan untuk menyajikan dan menyelenggarakan Program dengan baik, dan
sesuai dengan upaya untuk bekerja menurut kerangka Good Governance, Pemerintah
tidak juga mampu atau berhasil menemukan sebuah formula yang tepat. Namun
setidaknya secara afirmatif, bisa dikatakan bahwa Pemerintah sejauh ini telah
berhasil meramu dengan arah dan bentuk program yang sudah mulai nampak
kejelasannya. Kejelasan dalam format dan penerima manfaatnya.
Akan tetapi, di sisi lain, masih ada saja praktek-praktek
mal-administrasi dan korupsi yang terjadi dan belum juga diperoleh
penyelesaiannya. Dan Program BOS sebagai kebijakan wajib belajar merupakan
salah satu program yang belum juga dapat terhindar dari kedua jenis praktek
yang menyimpang dan melanggar hukum tersebut.
Beberapa mal-administrasi dan potensi korupsi yang muncul dalam
kebijakan Program BOS, baik di Tahun 2010 maupun di Tahun 2011 adalah :
1.
Perumusan
tujuan yang ambigú, tanpa adanya kesingkronan antara target dengan persyaratan
dan mekanisme untuk mencapainya.
2.
Berperilaku
dogmatis, bukannya experimental. Artinya prosedur stándar dianggap sebagai
sesuatu yang Sangat sakral, yang tidak boleh dilanggar, sehingga administrador
tidak berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan prosedur atau yang
Belum ada prosedurnya.
3.
Ketidakmampuan
untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan keengganan untuk memperhatikan
umpan balik.
4.
Hasil
yang diperoleh bertentangan dengan tujuan yang diinginkan.
5.
Memperlakukan
prosedur pelayanan sebagai ritual sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit dan
menimbulkan penyuapan atau korupsi.
Oleh
karena itu, agar ke depan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi, dibutuhkan
kejelasan mekanisme, keberlanjutan pembiayaan, dan pertanggungjawaban sistemik.
Legalitas atau Kedudukan Hukum
Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS yang diterbitkan dalam
bantuk sebuah produk hukum, berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, baru
dilakukan oleh Pemerintah pada Tahun Anggaran 2011. Yakni melalui Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan
Dana BOS Tahun Anggaran 2011, atau disingkat Permendiknas 13/2010. Dan ini merupakan produk hukum ditingkat nasional
yang pertama kali mengenai Program BOS.
Sebelumnya, Program BOS tidak pernah memiliki
legalitas dan atau kedudukan hukum yang jelas. Program ini, selama 6 tahun,
sejak Tahun 2005, hanya diatur oleh sebuah buku terbitan Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Mandikdasmen), yang namanya
Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah.
Agaknya pihak kemendiknas tidak terlalu mempertimbangkan aspek yuridis
mengingat keberadaan Program BOS di kala itu, sebelum 2011, menjadi bagian dari
Belanja Kemendiknas. Dan diletakkan sebagai bagian dari Dana
Dekonsentrasi.
Masalahnya adalah kedudukan hukum dari sebuah buku panduan
tidak memiliki ikatan untuk dipatuhi secara administratif maupun legal. Dan
ketiadaan produk hukum atau peraturan pelaksanaan dari penyelenggaraan Program
BOS sebelum 2011 memperlihatkan pengabaian Kemendiknas terhadap tertib hukum
administrasi yang semestinya merupakan bagian dari penegakan tata-pemerintahan
yang baik.
Tujuan Bantuan Oprasional
Sekolah
Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9
Tahun diukur dengan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP. Pada tahun 2009
APK SMP telah mencapai 98,11% sehingga dapat dikatakan bahwa program wajib
belajar 9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan.
Program bantuan oprasional sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan juli 2005,
telah berperan besar dalam percepatan pencapaian program wajib belajar 9 tahun
tersebut. Oleh karena itu, mulai tahun 2009 pemerintah telah melakukan
perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi dari program. Program BOS ke depan
bukan hanya berperan untuk mempertahankan APK, namun harus juga berkontribusi
besar untuk peningkatan mutu pendidikan dasar. Selain daripada itu, dengan
kenaikan biaya satuan BOS yang signifikan, program ini akan menjadi pilar utama
untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan dasar.
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu. Sedangkan tujuan secara khusus program BOS dapat dilihat beberapa
perubahan dalam tabel berikut.
.
Tabel 1
Daftar Tujuan-tujuan dari
Program BOS Tahun 2005-2011
Tahun
|
Tujuan
|
2005/2006
|
Program BOS
bertujuan untuk memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan
iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan
pendidikan kepada masyarakat.
|
2006/2007
|
Program BOS bertujuan
untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan
bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun.
|
2007/2008
|
Program BOS bertujuan
untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan
bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun.
|
2009
|
Secara umum
program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan
pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
|
Secara khusus
program BOS bertujuan untuk:
1.
Menggratiskan
seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional
sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta;
2.
Menggratiskan
seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah,
kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah
bertaraf internasional (SBI)
3.
Meringankan
beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
|
|
2010
|
Secara umum
program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap
pembiayaan
pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
|
Secara khusus
program BOS bertujuan untuk:
1. Menggratiskan seluruh siswa SD
negeri dan SMP negeri dari biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan
sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional
(SBI)
2. Menggratiskan seluruh siswa
miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri
maupun swasta;
3. Meringankan beban biaya
operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta
|
|
2011
|
Secara umum
program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan
pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
|
Secara khusus
program BOS bertujuan untuk:
1.
Membebaskan
pungutan bagi seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasi
sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan
sekolah bertaraf internasional (SBI)
2.
Membebaskan
pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik
di sekolah negeri maupun swasta
3.
Meringankan
beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
|
Diolah dari Buku Panduan Bantuan Operasional
Sekolah
Tujuan Umum dari Program BOS tidak mengalami perubahan.
Perubahan orientasi kebijakan hanya nampak dalam Tujuan Khusus dari Program
tersebut. Sejak Tahun 2009, Program BOS mengalami perubahan orientasi kebijakan. Dari pembebasan biaya
pendidikan bagi siswa yang tidak mampu, menjadi menggratiskan seluruh siswa di
jenjang pendidikan dasar. Dan orientasi kebijakan pendidikan dasar gratis ini
tetap dipertahankan hingga 2011, dengan merubah istilah ’gratis’ menjadi ’bebas
pungutan’. Dua istilah yang berbeda, namun sama dalam makna/pengertian.
Akan tetapi, sesungguhnya
penentuan tujuan khusus yang ambisius ini tidak selaras dengan kapasitas
keuangan Pemerintah. Hal tersebut nampak dari kegagalan Pemerintah dalam
menjalankan satuan biaya operasional non-personal yang ditetapkannya dalam
Permendiknas 59/2009, sehingga terdapat selisih biaya pendidikan. Sesungguhnya Pemerintah sudah menyadari
adanya selisih biaya pendidikan tersebut, atau kemungkinan tidak terpenuhinya
seluruh komponen biaya pendidikan dasar, dengan mengutarakan permintaan kepada
Pemda agar mengalokasikan anggaran APBD untuk memenuhi kekurangan biaya
operasional apabila BOS tidak mencukupi.
Masalahnya, penetapan tujuan khusus yang berorientasi pada pendidikan
dasar gratis ini menyebabkan banyak kesalahpahaman dan dapat menyebabkan
Pemerintah dituding melakukan kebohongan publik. Semestinyalah Pemerintah
menetapkan tujuan khusus program yang selaras dengan tujuan umumnya, dan sesuai
dengan kemampuan keuangan Pemerintah sendiri dalam menjalankan program
tersebut. Terlebih lagi, Renstra Kemendiknas sama sekali tidak menyinggung
mengenai visi, misi, strategi dan arah kebijakan yang selaras dengan orientasi
kebijakan pendidikan dasar gratis tersebut.
Sasaran Program dan Besar
Bantuan
Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP,
termasuk Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar
Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta
di seluruh provinsi di Indonesia. Program kejar paket A dan Paket B tidak
termasuk sasaran dari program BOS ini.
Tabel 1.2
Perkembangan Biaya
Satuan BOS
Tahun
|
Biaya Satuan BOS (Per Siswa Per Tahun)
|
|
SD/SDLB/MI
|
SMP/SMPLB/MTs
|
|
2005
dan 2006
|
RP.
235.000,-
|
RP.
324.000,-
|
2007
dan 2008
|
RP.
254.500,-
|
RP.
354.000,-
|
2009
dan 2010
|
RP.
400.000,- (Kota)
RP.
397.000,- (Kabupaten)
|
RP.
575.000,- (Kota)
RP.
570.000,- (Kabupaten)
|
2011
|
RP.
400.000,- (Kota)
RP.
397.000,- (Kabupaten)
|
RP.
575.000,- (Kota)
RP.
570.000,- (Kabupaten)
|
Data Diolah dari Buku Panduan BOS
Berdasarkan
hasil kajian Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mencakup dua komponen yaitu
biaya operasional personil dan biaya operasional non personil, oleh karena
biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional, maka penggunaan BOS
dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan
biaya investasi. Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan (honor
Kelebihan Jam Mengajar (KJM) , Guru tidak tetap (GTT), Pegawai tidak tetap
(PTT), uang lembur) dan pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan Guru,
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS),
Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan lain-lain.
Biaya non personil adalah biaya untuk penunjang Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), evaluasi/penilaian, perawatan/pemeliharaan,
daya dan jasa, pembinaan kesiswaan, rumah tangga sekolah dan supervise. Selain dari
biaya-biaya tersebut, masih terdapat jenis biaya operasional yang ditanggung
oleh peserta didik, misalnya biaya transportasi, konsumsi, seragam, alat tulis,
kesehatan, rekreasi dan sebagainya.
Namun
perlu ditegaskan bahwa prioritas utama BOS adalah untuk biaya operasional non
personil bagi sekolah. Oleh karena keterbatasan dana BOS dari pemerintah Pusat,
maka biaya untuk investasi sekolah dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari
sumber lain, dengan prioritas utama dari sumber pemerintah, pemerintah daerah
dan selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu.
Pinjaman Luar Negeri.
Keberlanjutan kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun, yang telah dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2002, melalui Rencana Aksi
Nasional Pendidikan Untuk Semua (RAN PUS), menjadi pertanyaan besar terkait
dengan sumber pendanaan Program BOS. Sebagian pendanaan Program BOS ternyata
berasal dari pinjaman luar negeri. Sumber anggaran Program BOS yang berasal
dari hutang/pinjaman luar negeri ini akan menyebabkan kerentanan bagi
keberlanjutan pelaksanaan Program BOS ini. Apalagi jika Pemerintah tidak
memiliki kebijakan fiskal yang jelas dalam strategi pendanaan pendidikan nasional
dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Pinjaman/hutang luar negeri ini telah mendanai pelaksanaan program
Pemerintah ini sejak Tahun 2008. Dan akan berjalan sampai 2012. Sumber pendanaan
hutang ini berasal dari World Bank/IBRD sebesar USD 600 juta, dengan nama
Bantuan Operasional Sekolah (School Operational Assistance)-Knowledge
Improvement for Transparency and Accountability Project dan di 2011 ini
ditambah dengan dana hibah dari Pemerintah Australia sebesar AUD 26 juta[1],
dengan nama BOS Training. Pada saat yang
sama, dari Tahun Anggaran 2010-2012, juga terdapat proyek pinjaman luar negeri
dari Bank Dunia untuk Program BOS ini dengan nama SISWA.[2]
Pengadaan Program BOS di lain sisi, menurut penjelasan
Kemendiknas, ternyata merupakan jaminan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri
bagi Pemerintah. Dibawah ini adalah bagian pertama dari dokumen penilaian
proyek (Project Appraisal Document) dari Pinjaman Investasi Khusus, atau
Specific Investment Loan, yang memberikan ringkasan deskripsi tentang kerjasama
antara Pemerintah dan IBRD. Dalam Pasal 47, UU 20/2003, di Bagian Kedua,
tentang Sumber Pendanaan Pendidikan, dinyatakan bahwa : Pertama, Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan. Kedua, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan
sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Permasalahan yang muncul, setidaknya, ada dua.
Pertama, jika Pemerintah gagal dalam melaksanakan
Program BOS dan terjadi penyimpangan penggunaan dana BOS
tersebut, maka Pemerintah terancam atau dapat berisiko terhadap proses
replenishment dari Bank Dunia ke Pemerintah Indonesia. Kedua, jika kebijakan fiskal untuk pendidikan
ini bersifat jangka panjang, mengingat komitmen pinjaman/hibah luar negeri
kepada Pemerintah berjangka waktu cukup lama, membuat kebergantungan pada utang
menjadi makin tinggi. Jika dihitung dari Tahun 2008, maka pendanaan ini sudah
dan akan berlangsung selama 5 (lima) tahun.
Ketergantungan terhadap pinjaman/hibah luar negeri untuk
mencapai keberhasilan mandat konstitusi ini sudah barang tentu tidak semestinya
dilanjutkan dan harus diletakkan sebagai stimulus belaka. Stimulus dari utang atau hibah luar negeri
ini sudah semestinya tidak bersifat permanen ataupun berjangka panjang. Apalagi
Program BOS adalah program pendidikan yang semestinya membebaskan dan tidak
menimbulkan beban bunga utang yang akumulatif bagi generasi muda masa depan,
hasil dari Program Pendidikan ini.
Dana Penyesuaian.
Skema Penyaluran Dana BOS telah mengalami perubahan di Tahun
2011 ini. Dari mekanisme Dana Dekonsentrasi menjadi mekanisme Transfer Ke
Daerah. Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS ini membawa konsekuensi
kebijakan APBN. Jika semula anggaran Program BOS menjadi bagian dari DIPA Dana
Dekonsentrasi dari RKA Kemendiknas di setiap tahun anggaran APBN. Maka di 2011
ini, alokasi dana Program BOS dipindahkan menjadi DIPA Dana Penyesuaian yang
dikelola oleh Kuasa Bendahara Umum Negara, dalam hal ini Ditjen Perimbangan
Keuangan, Kemenkeu. Dana Penyesuaian merupakan bagian dari anggaran transfer ke
daerah. Anggaran Transfer ke Daerah saat ini terbagi ke dalam dua jenis
anggaran pengeluaran: yakni Transfer Dana Perimbangan, dan Transfer Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Transfer Dana Perimbangan ini meliputi : (1).
Transfer Dana Bagi Hasil Pajak; (2). Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
(3). Transfer Dana Alokasi Umum; dan (4). Transfer Dana Alokasi Khusus. Sedangkan untuk Transfer Dana Otonomi Khusus
dan Penyesuaian meliputi : (1). Transfer Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua
Barat; (2). Transfer Dana Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam; dan (3).
Transfer Dana Penyesuaian.
Masalahnya, penempatan anggaran dana BOS pada Dana Penyesuaian
menjadi aneh. Pertama, dari awal sifat kebijakan dari Dana Penyesuaian adalah
sementara, bantuan, dan terbatas. Dan juga tujuan dari kebijakan Dana
Penyeimbang/Penyesuaian adalah jelas, untuk mendukung kemampuan keuangan daerah
dalam kerangka pencapaian tujuan DAU. Tentu menjadi berlebihan dan tidak pada
tempatnya, jika Program BOS yang bertujuan konstitusional dan bersifat jangka
panjang, ditempatkan pada Dana Penyesuaian. Kedua, keberadaan Dana Penyesuaian
ini tidak jelas, tidak legitimate, secara legal dan administratif. Kerangka
desentralisasi yang dibangun oleh UU 33/2004 dan UU 32/2004 sama sekali tidak
mengenal Dana Penyesuaian. Sehingga sesungguhnya Dana ini hanya merupakan
diskresi fiskal pemerintah dalam merespon sesuatu yang bersifat temporal.
Dengan mencermati kedua hal tersebut, semestinya Pemerintah
tidak menempatkan Dana BOS di jenis belanja transfer ke daerah diluar kerangka
regulasi UU 33/2004. Dan secara konsisten dan konsekuen, menghormati dan
melaksanakan regulasi perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah tersebut.
Mekanisme Penyaluran
Penyaluran dana BOS dari Pusat ke Daerah, dan
dari Daerah ke sekolah, baik pada triwulan pertama maupun triwulan kedua
mengalami keterlambatan. Keterlambatan penyaluran ini terjadi pada tiga bagian penting
dalam proses penyaluran. Pertama, keterlambatan masuknya dana dari Pemerintah
ke Daerah; kedua, keterlambatan pencairan dana dari Pemerintah Daerah ke
Sekolah; ketiga, keterlambatan pihak sekolah dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban ke Tim Manajemen BOS ditingkat Kabupaten/Kota.
Meskipun telah memiliki arahan dan panduan teknis yang
jelas, Namun ternyata proses penyalurannya
berjalan tidak sesuai dengan harapan. Tidak secepat yang diharapkan
Pemerintah. Progres pencairan dana BOS pada triwulan pertama ternyata masih
tersisa. Dan masih berjalan tatkala pencairan tahap kedua sedang dalam proses. Pada
triwulan pertama dan kedua ini keterlambatan pencairan dana dana BOS terletak
pada lima penyebab krusial. Kelimanya adalah : (i). Keterlambatan penerimaan
Rekening Kas Umum Daerah terhadap dana BOS dari Pemerintah; (ii). Minimnya
sosialisasi tentang Permendiknas BOS dan terutama SEB Mendagri dan Mendiknas;
(iii). Beban kerja berlebih BUD/PPKD; (iv). Penambahan persyaratan pencairan;
(v). Kehati-hatian Kepala Daerah; dan (vi). Rendahnya kualitas sekolah.
Kepatuhan Sekolah
Pihak sekolah sebagai penerima manfaat atau service provider
dari Program BOS ini memegang posisi penting. Keberadaannya yang strategis
dalam proses penetapan alokasi, penyaluran, penggunaan, dan pertanggungjawaban
dari Kebijakan Dana BOS ternyata membuat sekolah menjadi stakeholder yang
paling rentan. Kerentanan sekolah ini sesungguhnya terletak pada kemampuannya
untuk mampu mematuhi peraturan pelaksanaan Program BOS yang telah ditetapkan
Pemerintah, dan melakukan upaya-upaya yang lebih ’sehat’ dan mendidik apabila
peraturan pelaksanaan Program BOS tersebut menimbulkan atau tidak memecahkan
permasalahan yang rutin dihadapi stakeholder sekolah. Stakeholder sekolah harus
memandang berbagai permasalahan yang dihadapi sebagai tantangan yang sudah
semestinya dikelola dan dijawab dengan kerangka berpikir sebagai pendidik.
Salah satu tantangan adalah adanya daftar larangan
penggunaan Dana BOS, yang menyebabkan sekolah tidak dapat lagi memberikan tugas
tambahan, kegiatan ekstra kurikuler, dan tugas kegiatan lain diluar tugas utama
guru. Situasi ini muncul disebabkan Dana BOS tidak memperbolehkan pemberian
honor kesejahteraan terkait tugas tambahan tersebut. Meski dalam jumlah
sedikit, sebelum ada Dana BOS, sekolah dapat memberikan honor kesejahteraan
kepada guru PNS yang mendapat tugas tambahan seperti sebagai bendahara, wali
kelas, pengasuh ekstra kurikuler, dan kegiatan lain
Pola-pola Praktek Korupsi dan Mal-Administrasi
Sudah jamak diketahui oleh masyarakat luas, dan tentu juga
sudah disadari dengan baik oleh Pemerintah, bahwa tidak ada satu program pun
yang dijalankan oleh Pemerintah, yang terbebaskan dari korupsi dan atau
mal-administrai. Bahkan pada proses penyaluran dan penggunaan dana BOS. Potensi
terjadinya korupsi dan mal-administrasi sangat tinggi dalam program yang memperoleh
dana sangat besar ini. Bahkan sudah banyak pula para terpidana yang mendekam di
penjara karena melakukan tindak pidana korupsi.
Pola korupsi dan mal-administrasi yang terjadi di era
transfer ke daerah dapat dijelaskan dalam beberapa titik rawan berikut. Titik pertama adalah tatkala dana BOS masuk
di rekening kas umum daerah. Dana tersebut tidak segera disalurkan ke rekening
sekolah. Hal ini nampak dari disiasatinya pelaporan waktu penyaluran atau
tanggal penerbitan SP2D kepada Kemendiknas oleh BUD yang berbeda dengan
realitas faktual waktu penerimaan dana BOS oleh rekening sekolah. Keterlambatan
ini merupakan upaya yang disengaja untuk mendapatkan bunga bank dari dana BOS
tersebut. Modus seperti ini banyak dijumpai di kabupaten kota yang menerima Dana
Penyesuaian.
Titik kedua adalah ketika dana disalurkan ke rekening
sekolah. Dana yang ditransfer ke
rekening sekolah itu telah dipotong lebih dulu oleh Dinas Pendidikan setempat.
Jumlah pemotogan berkisar antara 10 persen hingga 60 persen. Alasan pemotongan
ini beragam. Dari yang terang-terangan meminta setoran langsung, rekayasa
penjualan produk, melakukan suap, hingga dengan alasan pengenaan biaya
administrasi.
Titik ketiga adalah pada tahap pembelanjaan dana BOS. Dana
BOS digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak menjadi proritas sekolah, dan
memerlukan biaya besar. Modus lainnya,
dana BOS dipinjamkan ke pihak lain atau untuk membayar hutang dan bunga
pinjaman. Bahkan juga ada Dana BOS yang digunakan untuk membayar bonus dan
transportasi rutin guru atau pihak luar sekolah, memberi amplop kepada
wartawan, membeli seragam guru atau siswa, rehabilitasi sekolah, membangun
gedung/ruangan kelas baru, serta membeli alat yang tidak mendukung proses
pembelajaran. Dana BOS juga dipergunakan untuk membiayai kegiatan yang diselenggarakan
oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan/Kabupaten/Kota/Provinsi/Pusat,
atau pihak lain. Kendati pihak sekolah tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Titik keempat adalah pada tahap pendataan jumlah siswa
miskin dan seluruh siswa yang ada di sekolah. Sekolah penerima Dana BOS mesti
menyampaikan jumlah siswa miskin dan seluruh jumlah siswa yang ada di
sekolahnya. Baik saat awal di tahap penetapan alokasi dana BOS maupun saat
proses pelaporan tiap triwulan. Terdapat modus sekolah memanipulasi atau
menggelembungkan jumlah siswa didiknya agar mendapatkan Dana BOS yang lebih
besar. Titik kelima adalah pada tahap pelaporan penggunaan dana BOS. Untuk
mempermudah proses pelaporan dan perencanaan program sekolah, peran komite
sekolah cenderung dihilangkan. Dan salah satunya dengan memanipulasi tanda
tangan orang tua siswa didik penerima Dana BOS,
Rekomendasi Kebijakan
Beberapa rekomendasi
kebijakan dapat dirumuskan berikut ini.
Pertama, Kebijakan fiscal Pemerintah
terhadap pendidikan sudah seharusnya menempatkan unsur keberlanjutan dan
keadilan sebagai prinsip utama. Keberlanjutan, berarti keberadaan sumber dana
dari pinjaman atau hibah luar negeri harus ditempatkan sekedar sebagai
kontribusi sesaat atau stimulus fiskal bagi Pemerintah. Dan mengupayakan sumber
dana yang berkelanjutan menjadi prioritas nasional yang semestinya dikejar
Pemerintah dalam rentang waktu pendek dan menengah.
Sudah waktunya bagi Pemerintah untuk melepaskan diri dari
ketergantungan dari utang/hibah luar negeri. Dan juga mengupayakan
pilihan-pilihan kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan dan memperkuat
desentralisasi dan demokrasi. Pilihan kebijakan yang masih mengandalkan Surat
Utang Negara, penjualan aset negara yang produktif, dan membuka diri pada
pinjaman/hibah luar negeri merupakan pilihan kebijakan yang tidak bijaksana,
tidak bertanggungjawab dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, Kebijakan fiscal di sektor
pendidikan, dengan menempatkan Program BOS pada instrument fiscal yang bersifat
sementara dan diluar regulasi fiscal yang mapan menunjukkan bahwa Pemerintah
masih ragu terhadap ketentuan/perencanaan yang telah ditetapkannya
sendiri. Padahal mandat dari RPJMN Tahun 2010-2014
telah jelas. Program BOS akan menjadi bagian dari strategi penguatan
desentralisasi, dan disalurkan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus. Oleh
karena itu, sudah seharusnya Pemerintah, apapun resiko dan tantangannya, mesti
melaksanakan mandat tersebut. Terlebih lagi mandat tersebut sinkron dan koheren
dengan konstitusi dan regulasi desentralisasi.
Ketiga, Untuk mendorong agar penyaluran
dana BOS tidak lambat, Pemerintah mesti menyelesaikan terlebih dahulu segala
peraturan pelaksanaannya secara komprehensif dan tidak separoh-separoh.
Kesalahan dalam kelambanan penyaluran sesungguhnya tidak seluruhnya ada ditangan
Pemda. Time frame Pemerintah dalam
perencanaan dan persiapan penyelenggaraan Program BOS mesti lebih longgar namun
ketat. Longgar, berarti tahap ini mesti dimulai pada bulan Agustus sehingga da
renang waktu yang cukup (5 bulan). Ketat, berarti tahap ini mesti ada progress
yang terjaga sesuai dengan target pada setiap bulannya. Dengan demikian
ketergesa-gesaan dan atau kelambatan dalam perancangan peraturan dan
sosialisasi dapat dihindarkan.
Keempat, Peningkatan kapasitas sekolah,
terutama SD/SDLB, mesti menjadi prioritas sehingga memiliki kemampuan dalam
menjalankan program BOS secara baik, terbuka, dan akuntabel, yang berarti sama
artinya mengelola APBS secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Kemampuan
pendidik, stakeholder sekolah, dalam mengelola dana besar secara fair, efisien,
dan akuntabel mesti menjadi perhatian utama Pemerintah.
Pemerintah juga mesti menetapkan peraturan pelaksanaan yang
dapat memastikan proses penyusunan, penetapan RKAS/RAPBS sesuai dengan format
yang standar dan mudah, dan melibatkan partisipasi orang tua siswa secara
terbuka dan transparan. Dan setiap pembelanjaan anggaran sekolah dan
pertanggungjawabannya berlangsung secara fair, terbuka, efisien, dan akuntabel.
Merubah cara pandang dan cara tata kelola sekolah merupakan tantangan pertama
Pemerintah. Cara pandang dan cara tata kelola sekolah sebagai pendidik adalah
pilihan yang mesti diutamakan. Pendidik hanya dapat mendidik para siswanya
apabila mampu menjadi teladan didalam proses belajar mengajar dan lingkungan
sekolah.
Kelima, Monitoring dan evaluasi menjadi kunci dalam
penyelenggaraan setiap program Pemerintah. Termasuk program BOS. Peran pengawas
sekolah mesti dioptimalkan. Disamping menjalankan tugas pengawasan
penyelenggaraan sekolah, pengawas juga dapat berperan sebagai konsultan atau
penyuluh untuk memberikan bimbingan teknis kepada sekolah-sekolah di kecamatan
yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan
peran tersebut, maka pengawas tidak lagi hanya datang sesekali ke sekolah.
Namun mesti dilakukan sebulan dua kali. Dan pemilihan personal sebagai pengawas
ini juga mesti selektif.
[1]
Lihat
Laporan Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Bulan Februari 2011, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang, Direktorat Pinjaman dan Hibah, Kementerian Keuangan.
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut