Rabu, 25 April 2012

Etnosentrisme dan Multikultulralisme


James G Kellas, The Political Of Nationnalism and Ethnicity (Macmilan Press Ltd. England)
James G Kellas mengatakan bentuk yang lebih terbuka dari nasionalisme disebut sebagai sosial nasionalisme atau lebih umum disebut sebagai civil nasionalisme. Hal ini berdasarkan budaya nasional yang sama akan tetapi tidak berasal dari keturunan yang sama. Ini bersifat inklusif dalam arti semua orang dapat menjalankan buaya dan bergabung dalam satu suatu bangsa meskipun orang terebut tidak diberlakukan sebagai anggota dari etnic nation.
Nasionalisme Sosial adalah nasionalisme dari suatu bangsa yang menetapkan dirinya berdasarkan keterikatan sosial dan budaya, bukan berdasarkan keturunan sehingga orang luar dapat bergabung  apabila mereka menerima kerakteristik sosialnya dengan demikian Catalan, Ukranian, dan Rusia dapat diterima sebagai anggota bangsa meskipun secara etnis tidak atau bukan merupakan suatu bangsa. Mereka mungkin saja adalah imigran.
Sosial nasionalisme dapat dibedakan dari etnic nasionalisme dan official nasionalisme.  Official nasionalisme yaitu suatu nasionalisme yang tidak harus berdasarkan etnis atau budaya tertentu. Sedangkan Etnic nasionalisme adalah kelompok etnis yang membentuk suatu nasionalisme seperti Kurdi, Latvia, dan Tamil yang menetapkan bahwa bangsa mereka bersifat eksklusif yang berdasarkan keturunan yang sama. Official nasionalisme adalah yang terdiri dari semua orang yang secara hukum adalah warga negara tanpa memperdulikan etnis, identitas nasional dan budaya.
Ancaman terhadap Nasionalisme etnis dan sosial yaitu ketika menghadapi suatu negara yang tidak memiliki etnis yang sama atau identitas dan budaya yang sama. Untuk mengatasi hal ini harus menjadi suatu etnic nation state atau multinational state yang menjamin hak-hak etnis sosial. Nasionalisme berasal dari perubahan karakter dari suatu politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan ini menimbulkan hasil yang mendua dan sangat sulit diprediksi apakah etnis nasionalisme atau sosial nasionalisme akan mengikuti perubahan tersebut.
Dalam politik fokusnya adalah kekuasan yang di wujudkan dalam bentuk otoritas dan tantangan terhadap otoritas itu. Pihak yang memperoleh kekuasaan poltik membentuk struktur politik, umumnya berbentuk negara meskipun dapat juga berbentuk yang lebih luas dari kekaisaran sampai kepada otoritas lokal dalam suatu negara bangsa, suatu bangsa memperoleh suatu kebangsaan melalui negara. Dalam suatu negara yang berbentuk multinasional atau kekaisaran, bangsa dapat berkompetisi dengan yang lain dalam suatu urutan dominasi, diskriminasi dan eksklusivisme. Kondisi seperti ini dapat mengarah kepada anti state political nasionalisme. Mengapa nasionalisme etnis menjadi lawan official nasionalisme atau patriotisme dalam politik saat ini, penjelasan yang hanya  berdasarkan politik sulit menjelaskan ini, karena banyaknya unsur-unsur terlibat seperti politk, ekonomi, dan budaya.
Sejak terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 1999 mengenai pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur, masalah Papua bukannya menjadi bertambah jernih, melainkan makin kusut. Selain perpecahan sosial di antara berbagai kelompok masyarakat, juga membuat kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat terus merosot.
Muncul pula spekulasi yang mencurigai munculnya Inpres yang ”mengangkangi” UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap kemungkinan munculnya ”negara dalam negara”. Padahal, kalau dicermati lebih dalam, kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua sejatinya tidak memberi tempat hadirnya ”negara dalam negara”, tetapi justru melahirkan bangsa baru dalam sebuah negara, yakni bangsa Papua dalam negara Indonesia. Dengan  terbitnya UU No 21 Tahun 2001 dan UU No 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam (NAD), praktis ada tiga bangsa dalam satu negara Indonesia (one state three nations): Bangsa Indonesia, Bangsa Papua dan Bangsa Aceh. Sebelumnya Papua dan Aceh merupakan bagian integral dari ”bangsa Indonesia”, tapi setelah kebijakan Otsus, secara secara de facto dan de jure kedua wilayah itu sudah merupakan bangsa sendiri-sendiri, meskipun masih dalam satu negara Indonesia, yakni bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perkembangan ini tentu sulit diterima kalangan nasionalis tradisional yang sangat fanatik dengan bentuk NKRI. Bagi mereka, NKRI adalah harga mati. Sedangkan kebijakan otsus yang ”federalis”, bukan saja telah mengingkari negara kesatuan, tetapi juga dikhawatirkan bisa memicu daerah bersangkutan memerdekakakan diri.
Bagi negara majemuk, penerapan nasionalisme kultural salah kaprah. Nasionalisme kultural cuma bisa diterapkan oleh para tiran atau pun pada negara yang masyarakatnya relatif homogen. Jika nasionalisme lama ini dipaksakan untuk Indonesia yang sedang mengalami demokratisasasi, bisa memicu disintegrasi. Indonesia sebagai nation state sedang kepepet dan nasionalisme sebagai ”komunitas terbayang” tengah mengalami degradasi makna. Di satu sisi globalisasi meniscayakan liberalisasi, terutama ekonomi dan budaya, sedangkan di sisi lain gejolak separatisme dan etnisitas diakomodasi dengan kebijakan yang bernuansa ”federalis” yang kemudian melahirkan bangsa Papua dan Aceh.
Di sinilah pentingnya suatu usaha dekonstruksi agar nasionalisme dikembalikan kepada yang empunya yakni warga negara yang menghargai pluralisme, kesamaan, menjunjung keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Kalau nasionalisme dikembalikan kepada warga negara, gejolak politik di Papua tidak serumit seperti sekarang. Tetapi Jakarta mempersatukan Papua dengan Indonesia dalam hasrat nasionalisme kultural, bukan nasionalisme politik yang mengakui kekhasan sekaligus keragaman budaya lokal. Papua tidak hanya berbeda dari segi budaya dan ras dengan Indonesia, tapi juga pengalaman historisnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..