James G Kellas,
The Political Of Nationnalism and Ethnicity (Macmilan Press Ltd. England)
James G Kellas mengatakan bentuk yang lebih
terbuka dari nasionalisme
disebut sebagai sosial nasionalisme atau lebih umum disebut sebagai civil nasionalisme. Hal ini berdasarkan
budaya nasional yang sama akan tetapi tidak berasal dari keturunan yang sama. Ini bersifat inklusif dalam
arti semua orang dapat menjalankan buaya dan bergabung dalam satu suatu bangsa
meskipun orang terebut tidak
diberlakukan sebagai anggota dari etnic
nation.
Nasionalisme
Sosial adalah nasionalisme
dari suatu bangsa yang menetapkan dirinya berdasarkan keterikatan sosial dan
budaya, bukan berdasarkan
keturunan sehingga orang luar dapat bergabung
apabila mereka menerima kerakteristik sosialnya dengan demikian Catalan,
Ukranian, dan Rusia dapat diterima sebagai anggota bangsa meskipun secara etnis
tidak atau bukan merupakan suatu bangsa. Mereka mungkin saja adalah imigran.
Sosial
nasionalisme dapat dibedakan dari etnic nasionalisme dan official nasionalisme.
Official nasionalisme yaitu suatu nasionalisme yang tidak
harus berdasarkan etnis atau budaya
tertentu. Sedangkan
Etnic
nasionalisme adalah kelompok etnis yang membentuk suatu nasionalisme seperti
Kurdi, Latvia, dan Tamil yang menetapkan bahwa bangsa mereka bersifat eksklusif
yang berdasarkan keturunan yang sama. Official
nasionalisme adalah yang terdiri dari semua orang yang secara hukum adalah
warga negara tanpa memperdulikan etnis, identitas nasional dan budaya.
Ancaman terhadap Nasionalisme
etnis dan sosial yaitu ketika menghadapi
suatu negara yang tidak memiliki etnis yang sama atau identitas dan budaya yang
sama. Untuk mengatasi hal ini harus menjadi suatu etnic nation state atau multinational
state yang menjamin hak-hak etnis sosial. Nasionalisme berasal dari
perubahan karakter dari suatu politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan ini
menimbulkan hasil yang mendua dan sangat sulit diprediksi apakah etnis nasionalisme atau sosial
nasionalisme akan mengikuti perubahan tersebut.
Dalam
politik fokusnya adalah
kekuasan yang di wujudkan dalam bentuk otoritas dan tantangan terhadap otoritas itu. Pihak yang memperoleh
kekuasaan poltik membentuk struktur politik,
umumnya berbentuk negara meskipun dapat juga berbentuk yang lebih luas dari
kekaisaran sampai kepada
otoritas lokal dalam suatu negara bangsa, suatu bangsa memperoleh suatu kebangsaan melalui negara.
Dalam suatu negara yang berbentuk multinasional atau kekaisaran, bangsa dapat
berkompetisi dengan yang lain dalam suatu urutan dominasi, diskriminasi dan
eksklusivisme. Kondisi seperti ini dapat mengarah kepada anti state political
nasionalisme. Mengapa nasionalisme etnis menjadi lawan official nasionalisme
atau patriotisme dalam politik saat ini, penjelasan yang hanya berdasarkan politik sulit menjelaskan ini,
karena banyaknya unsur-unsur terlibat seperti politk, ekonomi, dan budaya.
Sejak
terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang (UU)
Nomor 45 Tahun 1999 mengenai pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya
Tengah dan Irian Jaya Timur, masalah Papua bukannya menjadi bertambah jernih,
melainkan makin kusut. Selain perpecahan sosial di antara berbagai kelompok
masyarakat, juga membuat kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat
terus merosot.
Muncul
pula spekulasi yang mencurigai munculnya Inpres yang ”mengangkangi” UU No 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran
pemerintah terhadap kemungkinan munculnya ”negara dalam negara”. Padahal, kalau
dicermati lebih dalam, kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua sejatinya tidak
memberi tempat hadirnya ”negara dalam negara”, tetapi justru melahirkan bangsa
baru dalam sebuah negara, yakni bangsa Papua dalam negara Indonesia. Dengan terbitnya UU No 21 Tahun 2001 dan UU No 18
Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam (NAD), praktis ada tiga bangsa dalam
satu negara Indonesia (one state three nations): Bangsa Indonesia, Bangsa Papua
dan Bangsa Aceh. Sebelumnya Papua dan Aceh merupakan bagian integral dari
”bangsa Indonesia”, tapi setelah kebijakan Otsus, secara secara de facto dan de
jure kedua wilayah itu sudah merupakan bangsa sendiri-sendiri, meskipun masih dalam
satu negara Indonesia, yakni bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perkembangan ini tentu
sulit diterima kalangan nasionalis tradisional yang sangat fanatik dengan
bentuk NKRI. Bagi mereka, NKRI adalah harga mati. Sedangkan kebijakan otsus
yang ”federalis”, bukan saja telah mengingkari negara kesatuan, tetapi juga
dikhawatirkan bisa memicu daerah bersangkutan memerdekakakan diri.
Bagi
negara majemuk, penerapan nasionalisme kultural salah kaprah. Nasionalisme
kultural cuma bisa diterapkan oleh para tiran atau pun pada negara yang
masyarakatnya relatif homogen. Jika nasionalisme lama ini dipaksakan untuk
Indonesia yang sedang mengalami demokratisasasi, bisa memicu disintegrasi. Indonesia sebagai
nation state sedang kepepet dan nasionalisme sebagai ”komunitas terbayang”
tengah mengalami degradasi makna. Di satu sisi globalisasi meniscayakan
liberalisasi, terutama ekonomi dan budaya, sedangkan di sisi lain gejolak
separatisme dan etnisitas diakomodasi dengan kebijakan yang bernuansa
”federalis” yang kemudian melahirkan bangsa Papua dan Aceh.
Di
sinilah pentingnya suatu usaha dekonstruksi agar nasionalisme dikembalikan
kepada yang empunya yakni warga negara yang menghargai pluralisme, kesamaan,
menjunjung keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Kalau
nasionalisme dikembalikan kepada warga negara, gejolak politik di Papua tidak
serumit seperti sekarang. Tetapi Jakarta mempersatukan Papua dengan Indonesia
dalam hasrat nasionalisme kultural, bukan nasionalisme politik yang mengakui kekhasan
sekaligus keragaman budaya lokal.
Papua
tidak hanya berbeda dari segi budaya dan ras dengan Indonesia, tapi juga
pengalaman historisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..