BAB 1
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Dalam berbagai kurun sepanjang lebih dari
2000 tahun, proses-proses demokratis secara khusus hanya digunakan pada
negara-negara yang sangat kecil, seperti negara-negara kota di Yunani dan
Italia pada abad pertengahan. Peningkatan penerapan cita-cita demokrasi pada
negara bangsa diabad ke-17 dan seterusnya mensyaratkan lembaga-lembaga politik
baru yang secara radikal berbeda dari yang diterapkan di negara-negara kota.
Semua pranata baru itu sama-sama menggambarkan maupun memacu laju perubahan
dalam cara berfikir tentang demokrasi sendiri. Jika bentuk-bentuk yang baru
membutuhkan perkenan dan restu dari cita-cita kuno, semua perubahan yang
terjadi dalam kesadaran politik sering bersifat halus, elusif, dan
membingungkan. Sekarang istilah demokrasi nyaris menyerupai puing-puing
peninggalan kuno yang dipergunakan terus menerus selama 2500 tahun.[1]
Pada dasarnya dalam suatu negara ada
sebuah perdebatan, perdebatan itu timbul karena perbedaan pandangan mendudukkan
kekuasaan. Satu pihak mendudukkannya pada hukum sedang pihak yang lain
mendudukkannya pada politik. Apakah negara tersebut demokratis atau tidak
demokratis perdebatan ini akan selalu ada karena keberpihakan kekuasaan pada
suatu ide, pandangan atau kelompok tertentu yang dominan.
Sebuah
masyarakat perlu sebuah Konsensus mayoritas dimana minoritas harus tunduk
sekaligus patuh terhadap mayoritas dalam sebuah masyarakat. Atau dengan kata
lain hukum positif digunakan sebagai pendukung tindakan-tindakan kelompok
mayoritas yang mendominasi minoritas. Dalam sebuah masyarakat, jika minoritas
lebih superior dibanding mayoritas maka akan terbentuk oligarki kekuasaan dan
suatu saat kelamaan akan menjadi anarki. Dimana ada masyarakat, disitu ada
hukum. Negara sebagai organisasi sosial terbesar yang dilahirkan masyarakat tentu
memiliki seperangkat peraturan. Dalam sisi yang lain peraturan tersebut dibuat
oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan. Sudah menjadi semacam
sebuah keniscayaan universal dalam kelompok masyarakat mulai dari yang primitif
hingga modern selalu ada saja yang mendominasi dan terdominasi.
Sebuah
negara yang terdiri berbagai kelompok masyarakat yang tidak identik dan
bervariasi mutlak perlu sebuah aturan hukum. Aturan tersebut bisa tertulis
maupun tidak tertulis. Dalam sebuah negara tidak mungkin seluruh warga
negaranya ikut serta dalam pembuatan aturan hukum kecuali pada negara kota
zaman Yunani kuno. Prinsip keterwakilan dimana seseorang dapat mewakili suatu
kelompok yang lebih besar secara bebas oleh rakyat lebih efisien jika
dibandingkan demokrasi langsung ala Yunani kuno.
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa
kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad
(1835-1908), dilatarbelakangi oleh: Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia
Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala
bidang.
Penyebaran
Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana
Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13
Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa
pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan
dengan isu kedatangan Mesias atau Al asih. Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, mengunjungi Jogja
dan Solo untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah.
Perdebatan mulai muncul dan tuduhan penyimpangan ajaran Islam untuk pertama
kali diungkapkan. [2]
2.
Permasalahan
Demokrasi telah
menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang
tatanan sosio-politik yang ideal[3].
Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut
paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang
diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut
prinsip kedaulatan rakyat (90%)[4].
Demokrasi
(Inggris: Democracy) secara bahasa
berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.
Demos artinya rakyat (people) dan kratos/cratein artinya memerintah.[5]
Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang
kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep
demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai
ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada
yang pro dan ada yang kontra. Plato
(429-437 S.M) dan Aristoteles
(384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada
monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika
suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles
dalam format negara politea, yakni
demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat modern.
Kasus
sekte sesat Ahmadiyah kembali mencuat, bahkan sempat menimbulkan kehebohan,
khususnya setelah terjadinya peristiwa Cikeusik, Pandeglang Banten. Dalam
ajaran Islam yang telah memiliki doktrin keyakinan yang mapan (taken for granted) dan tidak boleh
dilanggar, jelas diyakini bahwa “Ahmadiyah adalah ajaran SESAT dan MENYESATKAN,
bahkan KAFIR”. Karena bila berkaitan dengan Islam, maka tidak ada lagi alasan
“berlindung di balik HAM”, “atas nama kebebasan beragama dan berkeyakinan”,
atau klaim palsu lainnya yang melegalkan tindakan “mengobrak-abrik dan
mengobok-obok agama”. Dalam Islam,
sangat kentara sekali perbedaan antara yang benar (haqq) yaitu ajaran Islam yang benar lagi murni dan yang batil
antara lain keyakinan sesat dan ritual tidak benar sekte Ahmadiyah.
Kejelasan
keyakinan dan ketegasan sikap ini, bukan berarti melegalkan anarkisme dan
tindakan brutal. Namun bila hal tersebut sampai terjadi, kemungkinan karena
adanya sebagian masyarakat yang telah membuncah kekesalannya dan tidak mampu
menahan gejolak amarahnya. Sebab ajaran sesat ini sudah dilarang secara resmi
oleh pemerintah, tetapi didiamkan saja tetap beraktifitas, bahkan hingga
memperbanyak pengikut dan berlaku seenaknya dalam “mempertontonkan” dan
memamerkan kesesatannya. Berdasarkan
MUNAS MUI VII No. II Tanggal 26-29 Juli 2005 sehingga keluarnya fatwa tentang
penetapan kesesatan Ahmadiyah dan pelarangan penyebaran pahamnya, terbitlah SKB tiga menteri No. 199 tahun 2008.
Kemunculan SKB tiga menteri ini tidak terlepas dari desakan mayoritas
masyarakat islam di Indonesia yang menganggap ajaran dari kelompok minoritas
ahmadiyah yang merupakan suatu sekte dari Islam itu sesat.
Dalam
tatanan negara demokrasi keputusan mayoritas terbagi menjadi dua Pertama,
mengharuskan kaidah mayoritas dalam pengertian yang lemah yang mengatakan bahwa
dukungan mayoritas harus dianggap penting untuk mengesahkan suatu
undang-undang. Kedua, pengertian kaidah mayoritas dalam artian yang lebih kuat berarti
dukungan mayoritas itu tidak hanya penting akan tetapi juga cukup mengundangkan
undang-undang.[6]
Dalam buku Social Contract, Rousseau
menulis: Dengan mengecualikan kontrak yang primitif, suara mayoritas selalu
mewajibkan semua yang lain.... Tetapi diantara kebulatan suara dan terpecahnya
pendapat menjadi dua bagian yang sama kuat, terdapat beberapa mayoritas
bersyarat, yang pada bagian manapun dapat diadakan perimbangan, sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan negara hukum. Dua buah
kaidah umum dapat berfungsi untuk mengatur perimbangan-perimbangan ini.
Pertama, bahwa semakin penting dan semakin serius perbincangan, semakin dekat
pendapat yang menang kepada kebulatan suara. Kedua, bahwa semakin cepat
dibutuhkan urusan yang dihadapi, semakin kecil pula seharusnya perbedaan yang
ditentukan dalam pembagian pendapat. Dalam perbincangan yang harus diakhiri
ditempat itu juga, maka mayoritas satu suara saja dapat dianggap cukup.[7]
Berdasarkan permasalahan diatas maka pertanyaan dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah
kaidah mayoritas dalam demokrasi yang
diyakini oleh Robert A. Dahl melihat kasus pelarangan Ahmadiyah di Indonesia?”.
3.
Kerangka Teori
Menurut Robert Dahl terdapat lima kriteria untuk mengenali proses
pemerintahan sebuah asosiasi agar dapat memenuhi suatu persyaratan demokrasi,
dimana semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai
keputusan kebijakan asosiasi:[8]
1.
Partisipasi efektif,
sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus
mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka
diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagimana seharusnya kebijakan itu
dibuat.
2.
Persamaan suara,
ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap
anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara
dan seluruh suara harus dihitung semua.
3.
Pembenaran kebenaran, dalam
waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu keputusan, setiap
warganegara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan
penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4.
Pengawasan agenda,
setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana
dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.
5.
Pencakupan orang
dewasa, semua atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi
penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang ditunjukkan
oleh empat kriteria seblumnya.
Dalam proses demokrasi menghendaki kaidah
keputusan tertentu atau bahkan beberapa kaidah yang berbeda-beda. Bagaimanapun,
ketika tahap akhir pembuatan keputusan
itu dicapai, dan semua suara yang mempunyai nilai yang sama dihitung,
diperlukan sebuah kaidah untuk menentukan alternatif mana yang akan diambil.[9]
Setiap demos yang terikat pada proses
demokrasi tampaknya akan menemukan kaidah mayoritas itu secara intuisi sangat
menarik.[10]
Dalam pembenaran yang rasional suatu kaidah mayoritas dapat dicapai dalam empat
cara yang berbeda, yaitu:[11]
1.
Kaidah mayoritas memaksimumkan
jumlah orang yang dapat menentukan nasib sendiri dalam keputusan bersama.
Dengan memperhatikan garis batas dari suatu sistem politik tertentu, komposisi demos, dan perlunya suatu keputusan
bersama terhadap suatu masalah, maka prinsip keras kaidah mayoritas manjamin
bahwa undang-undang yang mereka pilih sendiri.
2.
Ketika empat keriteria yang logis
harus dipenuhi oleh suatu kaidah keputusan dalam suatu masyarakat yang
demokratis (Partisipasi efektif, Persamaan
suara, Pembenaran kebenaran, Pengawasan agenda), maka secara logika harus
menyetujui bahwa prinsip kaidah mayoritas yang dapat memenuhi kriteria-kriteria
itu.
3.
Dalam kondisi tertentu
kaidah mayoritas itu kebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan yang lain
untuk menghasilkan keputusan yang benar.
4.
Memaksimumkan manfaat.
Dalam setiap usul yang didukung oleh mayoritas, apabilah usul itu diterima maka
masing-masing warganegara dalam mayoritas itu akan memperoleh
sekurang-kurangnya keuntungan yang sama dengan keuntungan yang hilang dari
setiap warganegara dalam minoritas.
BAB 2
Pembahasan Materi
Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak
terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad
sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya
bernama Mirza Ghulam Murtada. Menurut
riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun
1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal diGundaspur,
Punjab – India. Di situ mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan,
famili Ghulam Murtada masih keturunan
Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan
oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.[12]
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial
Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama
yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat
Singh. Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap
kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut,
berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi
keras dari ummat Muslim India.
Apabila Ahmad Khan menginginkan agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan
dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan
Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam
Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara politis,
sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran
yang didirikannya. Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan
tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah
Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza
Ghulam Ahmad sendiri:[13]
“Sungguh
sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang
yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan
keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan
bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan
pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), dimana pikiran seperti itu masih
diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang
mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris.”
2. Penyebaran Ahmadiyah Di Indonesia
Jika dilihat
dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua
kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, Majelis Tarjih Muhammadiyah
menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad
dianggap kafir. Walau tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah, faktanya sejak
pernyataan ini dikeluarkan hubungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah menjadi
putus.[14]
Perkembangan
Ahmadiyah tidak menjadi surut dengan adanya fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pada tahun 1930, pemerintah kolonial memberikan pengakuan terhadap Ahmadiyah.
Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan
Dahlan adalah putra KH. Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar
tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di
Thailand.[15]
Di tahun yang
sama, hubungan Ahmadiyah dengan Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto semakin menguat.
Ketika Pemimpin SI, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930, kata pengantar
diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Kemudian, ketika ketepatan
terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah,
giliran pimpinan Ahmadiyah yang memberikan dukungan kepada Tjokroaminoto. Belakangan, hubungan antara kedua organisasi ini
merenggang, namun bukan karena masalah keimanan melainkan perbedaan dalam
memposisikan pemerintah kolonial. SI dengan tegas menentang pemerintah kolonial
sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada kekuasaan Hindia Belanda. Sejak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda,
Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :
· Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang
mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
· Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi,
melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam.
1. Ahmadiyah Qadian[16]
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni
suatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu.
Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub,
(alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan
berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam.
Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai
menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia
itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan
nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat
sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan
penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai’at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.,
Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
r.a.
Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk
belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas
dengan pengajaran disana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib
untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian dua puluh tiga orang pemuda
Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang
terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.
berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud – juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab.
Respon positif terlontar dari Hadhrat
Khalifatul Masih II r.a.. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak
dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia.
Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT
dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus
1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a
berangkat dari Qadian.
2. Ahmadiyah Lahore[17]
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang
sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk
berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai “Organisasi Saudara Muhammadiyah”. Pada
tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza
Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup
Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929,
dikeluarkanlah pernyataan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad
adalah kafir”. Djojosoegito yang
diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari
Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
3. Pelarangan Ahmadiyah
Selain
mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial, Ahmadiyah juga telah berbadan
hukum melalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl.
13-3-1953 bahkan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi kemasyarakatan
melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003.[18]
Namun
pengakuan dari negara ternyata tidak memiliki nilai di mata para penentang
Ahmadiyah. Bayangkan, di atas pengakuan negara terhadap keberadaannya,
Ahmadiyah terus mendapatkan serangan dan teror. Perusakan tempat ibadah, rumah
pribadi, aset-aset organisasi bahkan penghilangan nyawa, adalah harga yang
harus dibayar oleh pengikut Ahmadiyah, yang juga warga negara Indonesia, hanya
karena ia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan yang lain.
Beberapa
faktor bisa disebutkan sebagai penyebab bertambah parahnya konflik ini. Namun
salah satu faktor yang paling penting adalah adanya fatwa MUI pada tahun 1980
yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berada ”di luar” Islam. Fatwa ini kemudian
diperkuat dengan fatwa baru hasil Munas VII MUI tahun 2005 yang mengharamkan
Ahmadiyah. Sejak itu, kekerasan dan teror tak terbendung lagi. Dalam perkembangannya pemerintah juga
ikut melarang Ahmadiyah. Dimulai dengan keputusan Bakorpakem yang menyatakan
Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dilanjutkan dengan dikeluarkan keputusan
bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah.
Dalam negara demokrasi, konflik merupakan
suatu aspek kehidupan yang tidak dapat dihindarkan, dan pemikiran serta praktek
cenderung menerima konflik sebagai suatu watak manusia yang normal dan bukan
suatu hal yang luar biasa.[19]
Konflik yang terjadi antara mayoritas muslim di Indonesia dengan Kelompok
Minoritas Ahmadiyah disebabkan karena ketidak samaan pandangan terhadap
nilai-nilai yang dianut. Dalam pandangan kelompok mayoritas muslim ajaran
ahmadiyah telah melecehkan ajaran islam yang diyakini oleh kelompok mayoritas
muslim.
Indonesia merupakan sebuah negara yang
menganut ideologi demokrasi, oleh karenanya segala konflik yang terjadi
diantara warganegara harus diselesaikan secara konstitusi. Dalam pandangan Rober A. Dahl tentang kaidah mayoritas
yang terjadi dalam konflik antara mayoritas muslim dan kelompok ahmadiyah ini
dapat kita analisis satu persatu, yaitu:
1.
Kaidah mayoritas memaksimumkan jumlah orang yang dapat menentukan nasib
sendiri dalam keputusan bersama. Dengan memperhatikan garis batas dari suatu
sistem politik tertentu, komposisi demos, dan perlunya suatu keputusan bersama
terhadap suatu masalah, maka prinsip keras kaidah mayoritas manjamin bahwa
undang-undang yang mereka pilih sendiri.
Dalam konflik ahmadiyah, ini merupakan sebuah konflik yang terjadi
berdasarkan agama. Terjadi ketidak samaan pandangan antara kelompok ahmadiyah
yang minoritas dengan kelompok islam yang mayoritas lainnya. Melalui keputusan
bersama yang disepakati oleh kelompok mayoritas muslim melalui MUI selaku wadah
atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia
untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama, diputuskan bahwa kelompok moyoritas ahmadiyah
bukan bagian dari agama islam. Keputusan MUI ini merupakan suatu keputusan yang
diambil berdasarkan artikulasi dari kelompok mayoritas muslim yang melihat
ajaran dari ahmadiyah itu adalah sesat. Peran MUI disini sebagai wakil kelompok
mayoritas yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat
dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. Keputusan
MUI merupakan Undang-undang yang harus dipatuhi oleh orang yang beragama islam.
2.
Ketika empat keriteria yang logis harus dipenuhi oleh suatu kaidah
keputusan dalam suatu masyarakat yang demokratis (Partisipasi
efektif, Persamaan suara, Pembenaran kebenaran, Pengawasan agenda), maka secara
logika harus menyetujui bahwa prinsip kaidah mayoritas yang dapat memenuhi
kriteria-kriteria itu.
Ketika pendukung Ahmadiyah mengatakan bahwa penerbitan SKB 3 Menteri
pelarangan Ahmadiyah melanggar HAM, kelompok kontra yang suaranya diwakili oleh
Majalis Ulama Indonesia membantahnya dengan mengatakan bahwa kasus Ahmadiyah
tidak berhubungan dengan HAM maupun kebhinekaan, akan tetapi kasus ini
merupakan persoalan penodaan agama, dan Ahmadiyah bertindak sebagai pelakunya.
Menurut Robert A. Dahl,[20]
Pertama,
dalam kaidah keputusan yang demokratis harus bersifat menentukan. Kalau demos dihadapkan kepada dua alternatif
yaitu x dan y, maka kaidah keputusan itu harus pasti menuju pada salah satu
dari tiga hasil akhir: memilih x, memilih y, atau tidak memilih keduanya. Kedua,
kaidah keputusan yang demokratis tidak lebih mementingkan seorang pemberi suara
dari yang lain. Hasil akhirnya tidak boleh tergantung pada orang-orang tertentu
mana yang menyukai atau menentang suatu alternatif. Ketiga, prosedur pemberian suara
harus netral terhadap alternatif-alternatif. Sehingga kaidah keputusan adalah
tidak lain dari versi keputusan mayoritas yang kuat karena merupakan suatu
kriteria yang logis dalam mengambil keputusan.
3.
Dalam kondisi
tertentu kaidah mayoritas itu kebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan
yang lain untuk menghasilkan keputusan yang benar.
Mayoritas muslim meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah
terakhir, sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Rasulullah
bersabda: “Tidak ada nabi sesudahku” (HR. Bukhari). Dan hadist yang lain “Rasulullah bersabda: “Kerasulan
dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku”
(HR. Tirmidzi). Oleh karena itu aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah
Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena
mengingkari ajaran Islam yang qath’i
dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’
al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah [21]“Sesungguhnya
apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah
yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah
pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya
secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad
Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang
akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan
Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad,
keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama,
meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam
Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam“.
Dalam kasus ahmadiyah ini, menunjukkan kelompok mayoritas Islam lebih
dapat menghasilkan suatu keputusan yang benar. Permasalahan antara kelompok
mayoritas muslim dan kelompok minoritas ahmadiyah berpangkal dari keyakinan
dalam agama, yaitu pengakuan ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena permasalahan itu bermula dari agama maka dalam
penyelesaiannya dapat dilihat hukum-hukum yang ada dalam agama. Sehingga
kebenaran akan didapat ketika mayoritas orang memilih sesuatu yang dianggap
benar.
4.
Memaksimumkan manfaat. Dalam setiap usul yang didukung oleh
mayoritas, apabilah usul itu diterima maka masing-masing warganegara dalam
mayoritas itu akan memperoleh sekurang-kurangnya keuntungan yang sama dengan
keuntungan yang hilang dari setiap warganegara dalam minoritas.
Dalam kaidah mayoritas menurut Robert A. Dahl dapat dilihat prinsip untung dan rugi didalamnya.
Jika suatu kelompok terpecah pendapat antara 2 pilihan maka hanya dengan
prinsip mayoritas suatu keputusan dapat memenuhi prinsip keuntungan atau
kerugian. Jadi keuntungan suatu kelompok mayoritas itu sama dengan kerugian
yang diterima oleh minoritas. Dengan keputusan dilarangnya ahmadiyah maka
kelompok mayoritas muslim mendapatkan keuntungan atas kekalahan dari kelompok
minoritas. Robert A. Dahl
mengasumsikan bahwa keuntungan bersih dari setiap anggota mayoritas dan
kerugian bersih dari anggota minoritas persis sama, yaitu sama-sama satu unit
kepuasan.[22]
Misalnya meskipun hanya 51 orang dari kelompok mayoritas muslim dari jumlah
seluruh orang muslim di Indonesia yang menyetujui pembubaran ahmadiyah yang
berjumlah 100 orang, dan 49 orang yang lain menentangnya maka keuntungan bersih
yang didapat berdasarkan prinsip mayoritas adalah dua unit kepuasan.
BAB 3
Kesimpulan
Konflik ahmadiyah di Indonesia dalam perspektif kaidah mayoritas Robert A. Dahl dapat dijadikan
pembenaran akan pelarangan kelompok ahmadiyah di Indonesia. Berdasarkan
keputusan bersama dalam intern umat islam menyatakan bahwa ajaran dari kelompok
ahmadiyah itu sesat. Hal ini terkait dengan perbedaan aqidah yang diyakini
bersama oleh setiap umat islam bahwa nabi Muhammad
SAW adalah nabi terakhir, sedangkan
dalam keyakinan kelompok ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
nabi sesudah rasulullah Muhammad SAW. Maka keputusan sesat ini merupakan
pilihan yang diambil dan dijadikan pegangan untuk dijalankan. Dalam pengambilan
keputusan berdasarkan kaidah mayoritas maka yang menjalankan keputusan itu
dapat dimaksimumkan karena keputasan itu merupakan keputasan mayoritas yang
tidak dipaksakan.
Dalam
kaidah demokratis harus menetukan keputusan, oleh karena itu keputusan dapat
diambil apabilah terdapat kelompok mayoritas yang memenangkan suatu pemilhan. Jika
diadakan pemberian suara langsung dalam penentuan pelarangan ahmadiyah maka
kelompok mayoritas akan memenangkannya, karena mempunya suara yang mayoritas
lebih banyak.
Dalam
suatu keputusan benar dan salah, memungkinkan kelompok mayoritas membuat
pilihan yang tepat adalah lebih besar daripada kemungkinan minoritas yang
melakukannya. Konflik ahmadiyah timbul karena penafsiran Mirza Ghulam
Ahmad bahwa ia adalah seorang nabi. Hal
ini sangat bertentangan dengan keyakinan dalam islam yang tidak meyakini tidak
ada nabi sesudah Muhammad SAW. Keputasan yang benar itu dapat dilihat hanya
melalui kaidah mayoritas karena setiap pilihan yang diberikan dapat
dipersentasekan sebagai suara terbaik yang diyakini benar.
Melihat
kaidah mayoritas dalam konteks untung dan rugi, suatu keuntungan yang
didapatkan oleh kelompok mayoritas muslim dengan pelarangan ahmadiyah adalah
sama dengan kerugian yang didapat kelompok ahmadiyah. Ketika kelompok ahmadiyah
mengalami kerugian karena dilarang mengakui diri sebagai bagian dari umat islam
karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, maka keuntungan yang didapatkan oleh kelompok
mayoritas adalah tidak ada lagi kelompok didalam islam yang mengakui bahwa ada
nabi setelah rasulullah Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly,
Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Dahl, Robert A, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Dahl, Robert A, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid II,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Dahl, Robert A, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi
dan Kontrol, Jakarta: CV Rajawali,
1985.
Dahl,Robert
A, Perihal Demokrasi: Menjalajahi Teori
dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Held, David, Models of Democracy, Polity Press Ltd,
2006.
Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi,
Jakarta: PSHTN FH UI, 2005.
Internet
http://www.p2d.org/index.php/kon/32-15-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB
http://merahitam.com/sejarah-ahmadiyah-perkembangan-dan-penyebaranya.html. diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850, diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/02/07/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/. diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[1] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi
Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, ( Jakarta: CV Rajawali, 1985), Hlm. 9
[2] http://www.p2d.org/index.php/kon/32-15-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, diakses
30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[3] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta: PSHTN FH UI, 2005), hlm.1.
[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm.140.
[5] David Held, , Models of
Democracy, (Polity Press Ltd 2006), hlm. xiii
[6] Robert A. Dahl, Demokrasi dan
Para Pengkritiknya Jilid I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), Hlm. 204
[7] Ibid.
[8] Robert
A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjalajahi
Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat/Robert A. Dahl, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 52
[9] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I, Op. Cit, Hlm. 205
[10] Ibid, hlm. 206
[11] Ibid, hlm. 208
[12] http://merahitam.com/sejarah-ahmadiyah-perkembangan-dan-penyebaranya.html.
diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[13] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Dawam Raharjo, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850,
diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[19] Robert A. Dahl, Demokrasi dan
Para Pengkritiknya Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), Hlm. 12
[20] Robert A. Dahl, Demokrasi dan
Para Pengkritiknya Jilid I, Op. Cit,
Hlm. 211
[21] http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/02/07/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/.
diakses 30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[22] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I, Op. Cit, Hlm. 218
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..