Joseph A.
Schumpeter dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy mengatakan demokrasi diartikan
sebagai sebuah susunan institusional untuk sampai pada keputusan-keputusan
politik dengan memberikan kekuasaan pada individu tertentu untuk memutuskan
semua hal sebagai konsekuensi dari keberhasilan mereka memperoleh suara rakyat.[1]
Demokrasi
sebagai metode demokratik tak lain merupakan “pengaturan kelembagaan untuk
mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana berbagai individu, melalui
perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk
membuat keputusan. Bagi Schumpeter, apa yang disebut para teoritisasi klasik,
seperti Jean Jacques Rousseau,
sebagai “kehendak rakyat” sebenarnya hanyalah hasil dari proses politik, bukan
ruh, semangat, atau motor penggeraknya. Demokrasi tidak berarti dan tidak boleh
berarti rakyat berkuasa secara aktual, sebagaimana mestinya dalam himpunan
istilah “rakyat” dan “kekuasaan”. Dengan kata lain, demokrasi hanya mengandung
arti: rakyat mempunyai peluang untuk menolak atau menerima elit-elit yang akan
memerintah mereka melalui pemilu. Schumpeter menyebut demokrasi sebagai
kekuasaan politisi (the rule of politician).
Demokrasi
merupakan pembebasan dan pemberian akses pada rakyat dalam berpolitik. Esensi
dari demokrasi itu adalah kebebasan menyuarakan pendapat dalam konteks politik.
Demokrasi memberikan hak pada setiap warga Negara untuk dapat terlibat dalam
pemilihan elite politik dan penentuan kebijakan dalam suatu Negara. Masyarakat
sipil dapat memberi kontribusi dalam pemilihan melalui pencalonan, memberikan
suara dalam pemilihan umum serta pengawasan dalam suatu periode
pemerintahan.
Demokrasi
yang ingin menjadi sarana dalam partisipasi politik dalam suatu sistem politik.
Di Indonesia demokrasi ini lekat dengan pemilihan umum yang dilaksanakan tiap
lima tahun sekali untuk sirkulasi elite politik yang berkuasa. Dari praktek
demokrasi yang ada saat orde baru, kita telah melihat demokrasi yang mana
demokrasi ‘semu’. Demokrasi semu ini terjadi ketika pemilihan presiden yang
dipilih secara langsung, namun pada prakteknya Pegawai Negeri Sipil sengaja
direkrut menjadi massa Golkar. Dan jika PNS tidak memilih Golkar, maka akan ada
saknsi tersendiri. Padahal, netralitas Pegawai negeri Sipil harus ada di setiap
pemilihan.
Sering kali Indonesia
‘dianggap’ sebagai Negara paling demokratis dalam pemilihan umum. Pelibatan
peran serta masyarakat untuk memilih dalam pemilu dianggap sebagai hal ‘luar
biasa’ yang bisa dilakukan di Negara dunia ketiga. Memang tidak salah statemen
tersebut, namun yang menjadi penting untuk diketahui adalah demokrasi kita hanya
dimaknai dengan konteks prosedural, sehingga dianggap paling demokratis.
[1] Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, (London
and New York: Routlegde, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..