Rabu, 25 April 2012

Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi


Joseph A. Schumpeter dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy mengatakan demokrasi diartikan sebagai sebuah susunan institusional untuk sampai pada keputusan-keputusan politik dengan memberikan kekuasaan pada individu tertentu untuk memutuskan semua hal sebagai konsekuensi dari keberhasilan mereka memperoleh suara rakyat.[1]
Demokrasi sebagai metode demokratik tak lain merupakan “pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana berbagai individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Bagi Schumpeter, apa yang disebut para teoritisasi klasik, seperti Jean Jacques Rousseau, sebagai “kehendak rakyat” sebenarnya hanyalah hasil dari proses politik, bukan ruh, semangat, atau motor penggeraknya. Demokrasi tidak berarti dan tidak boleh berarti rakyat berkuasa secara aktual, sebagaimana mestinya dalam himpunan istilah “rakyat” dan “kekuasaan”. Dengan kata lain, demokrasi hanya mengandung arti: rakyat mempunyai peluang untuk menolak atau menerima elit-elit yang akan memerintah mereka melalui pemilu. Schumpeter menyebut demokrasi sebagai kekuasaan politisi (the rule of politician).
Demokrasi merupakan pembebasan dan pemberian akses pada rakyat dalam berpolitik. Esensi dari demokrasi itu adalah kebebasan menyuarakan pendapat dalam konteks politik. Demokrasi memberikan hak pada setiap warga Negara untuk dapat terlibat dalam pemilihan elite politik dan penentuan kebijakan dalam suatu Negara. Masyarakat sipil dapat memberi kontribusi dalam pemilihan melalui pencalonan, memberikan suara  dalam pemilihan umum serta pengawasan  dalam suatu periode pemerintahan.
Demokrasi yang ingin menjadi sarana dalam partisipasi politik dalam suatu sistem politik. Di Indonesia demokrasi ini lekat dengan pemilihan umum yang dilaksanakan tiap lima tahun sekali untuk sirkulasi elite politik yang berkuasa. Dari praktek demokrasi yang ada saat orde baru, kita telah melihat demokrasi yang mana demokrasi ‘semu’. Demokrasi semu ini terjadi ketika pemilihan presiden yang dipilih secara langsung, namun pada prakteknya Pegawai Negeri Sipil sengaja direkrut menjadi massa Golkar. Dan jika PNS tidak memilih Golkar, maka akan ada saknsi tersendiri. Padahal, netralitas Pegawai negeri Sipil harus ada di setiap pemilihan.
Sering kali Indonesia ‘dianggap’ sebagai Negara paling demokratis dalam pemilihan umum. Pelibatan peran serta masyarakat untuk memilih dalam pemilu dianggap sebagai hal ‘luar biasa’ yang bisa dilakukan di Negara dunia ketiga. Memang tidak salah statemen tersebut, namun yang menjadi penting untuk diketahui adalah demokrasi kita hanya dimaknai dengan konteks prosedural, sehingga  dianggap paling demokratis.


[1] Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, (London and New York: Routlegde, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..