Menurut
Robert Dahl terdapat lima kriteria untuk mengenali proses pemerintahan sebuah
asosiasi agar dapat memenuhi suatu persyaratan sebagai proses Demokrasi yaitu
agar semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai
keputusan kebijakan asosiasi:[1]
1.
Partisipasi efektif,
sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus
mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka
diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagimana seharusnya kebijakan itu
dibuat.
2.
Persamaan suara,
ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap
anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara
dan seluruh suara harus dihitung semua.
3.
Pemahaman yang cerah,
dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang
sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan
dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin.
4.
Pengawasan agenda,
setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana
dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.
5.
Pencakupan orang
dewasa, semua atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi
penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh.
Pada
masa Orde Baru landasan formalnya adalah Pancasila, Undang-undang Dasar 1945,
serta ketetapan MPRS. Dalam pemerintahan Orde Baru ini Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol di samping tetap menjadi fungsi untuk
membantu pemerintah. Golongan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peranan
penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Hak asasi diusahakan
supaya berjalan lebih penuh dengan memberikan kebebasan lebih luas kepada pers
untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik untuk bergerak dan
menyusun kekuatan. Diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam
masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur dan terencana.
Perkambangan
lebih lanjut dalam Orde Baru menunjukkan peranan presiden yang semakin besar.
Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan ditangan presiden karena
presiden Soeharto telah menjadi seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem
politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden didalam sistem
presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik
Indonesia. Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan
integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah
untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan
demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Semula prinsip ini diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan
yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS
untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah
Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih
tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang
dalam pemilu sehinga Golkar dan Orde Baru dapat selalu berkuasa.[2]
Dalam
pemilu-pemilu dimasa Orde Baru nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan karena
tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempaan yang sama
bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Setelah
fusi partai politik 1973, semua OPP kecuali Golkar menghadapi beberapa kendala
dalam menarik dukungan dari para pemilih. Hal ini disebabkan oleh karena Golkar
mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai
lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Perjuangan (PDI) tidak mendapatkannya.
Dari pengalaman dimasa Orde
Baru itu dilihat dari kriteria-kriteria proses demokrasi yang ditulis oleh Dahl
diatas, dapat kita analisis bahwa dalam periode pemerintahan Orde Baru itu
tidak menerapkan partisipasi efektif dari masyarakat luas, karena semua
kekuasaan berada penuh dibawah pemerintahan presiden. Dan dalam kompetisi
didalam pemilu golongan PNS tidak mempunyai persamaan hak suara karena dituntuk
untuk monoloyalitas dengan memberikan hak suaranya hanya kepada Golkar. Oleh
karena itu pemerintahan dimasa Orde Baru itu belum dapat dikatakan sebagai
pemerintahan yang demokratis yang seutunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..