Dalam bukunya Will Kymlicka mengatakan bahwa perdebatan
akan hak minoritas telah
cukup lama tidak diperhatikan.
Pertanyaan atas hak minoritas telah menjadi kajian utama
teori politik,
ada beberapa hal yang
menyebabkan hal ini. Yang paling utama adalah runtuhnya komunisme dan menimbulkan gelombang
nasionalisme etnis di Eropa Timur.
Dan secara dramatis
berakibat pada proses demokratisasi,
asumsi yang optimis bahwa demokrasi liberal akan tumbuh secara mulus dari
runtuhan komunisme ternyata dirusak oleh masalah-masalah etnis dan masalah
nasionalisme. Ada beberapa tahapan dalam
perdebatan itu yaitu:
Pertama
hak-hak minoritas sebagai komunitarianisme.
Perdebatan
atas hak-hak minoritas sejajar dengan perdebatan antara liberal dan
komunitarianisme atau antara individualis dan kolektivis. Dalam perdebatan
tahap ini asumsinya adalah posisi hak-hak minoritas tergantung pada posisi
seseorang dalam perdebatan liberal/komunitarian. Apabila seseorang itu kaum
liberal yang mengunggulkan
otonomi individu maka orang tersebut akan menolak hak-hak minoritas sebagai
suatu hal yang tidak perlu dan merupakan gerakan yang berbahaya terhadap
individual. Kaum komunitarian sebaliknya berpendapat hak minoritas adalah
langkah yang tepat dalam melindungi komunitas dari dampak buruk otonomi
individual. Singkatnya memperdebatkan
tentang pengakuan hak-hak minoritas atas
keritik komunitarian terhadap liberalisme.
Kedua group-group etno
kultural didalam masyarakat demokrasi barat tidak ingin dilindungi dari
kekuatan dari masyarakat liberal modern. Sebaliknya mereka ingin terlibat penuh
dan setara,
sebagai partisipan dalam masyarakat sosial liberal dengan akses kepada
pendidikan,
teknologi, komunikasi massa dan sebagainya. Perdebatan dalam tahapan kedua
adalah cakupan apa kemungkinan hak-hak minoritas dalam teori liberal masalahnya
tidak lagi bagaimana melindungi masyarakat minoritas dari liberalisme akan
tetapi apakah kaum minoritas yang terlibat dalam prinsip-prinsip dasar liberalisasi
membutuhkan hak-hak minoritas. Apabila kelompok tersebut sebanarnya liberal
mengapa anggota-anggotanya menginginkan hak monoritas, mengapa mereka masih
tidak puas dengan hak-hak tradisonal sebagai warga negara.
Ketiga Hak minoritas sebagai jawaban
terhadap pembangunan bangsa dibutuhkan untuk mengganti ide negara yang netral
terhadap budaya etnis dengan negara demokrasi liberal model baru yang disebut
sebagai model pembangunan bangsa (nation building). Negara dengan model
pembanguan bangsa adalah negara yang pemerintahannya tidak hanya mendorong
kemajuan satu budaya sosial tertentu. Kebijakan pemerintah adalah untuk
meningkatkan kemajuan dua atau lebih kebudayan sosial dalam suatu negara.
Akhir abad
ke-19 menjadi saksi munculnya beragam kelompok-kelompok yang berbeda,
seperti kelompok pribumi/lokal, kelompok kebangsaan, kelompok minoritas, kelompok
lingkungan hidup, kelompok etnik dll, yang kesemua kelompok ini berbeda gaya,
pandangan dan cara hidup. Kemunculan
kelompok-kelompok ini, seiring dengan munculnya istilah baru, yaitu
multikulturalisme. Multikulturalisme menjadi semacam pembenaran atas kehadiran
dan tumbuh suburnya kelompok-kelompok tersebut, dirkursus tentang
multikulturalisme muncul dalam konteks penanganan aspirasi minoritas
kultural. Kontroversi multikulturalisme, berupa munculnya tuntutan-tuntutan
dari kelompokkelompok minoritas etnis, seperti kaum Afro-Amerika,
Asia-Amerika, Indian, Feminis, dan kelompok-kelompok lain, mengenai
hak-hak untuk ikut menentukan pengambilan keputusan-keputusan publik,
seperti kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun
perguruan tinggi. Dengan kata
lain, kondisi saat itu menggambarkan merebaknya kesadaran hak-hak politik
dari warga kelompok-kelompok minoritas dalam suatu negara, yang direpresentasikan
dalam bentuk tuntutan-tuntutan kesamaan dan kesetaraan dalam kebijakan
publik.
Multikulturalisme
dalam perkembangan berkaitan dengan persoalan identitas
kelompok-kelompok yang berbeda, dan harapan atas pengakuan identitas kelompok-kelompok
tersebut oleh negara atau pun kelompok-kelompok lainnya. Sebagai contoh
kasus, runtuhnya Yugoslavia dan komunisme Soviet. Suatu politik yang
ingin melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan
sebuah ideologi dan kekerasan politik, justru 'menabung' dendam kultural. Elemen-elemen
kolektif yang ditekan itu pada gilirannya akan memberontak dan mendekonstruksi
tatanan politis dan ideologis bersama itu.
Multikulturalisme
sebagai ajaran tentang 'common culture' yang memberi ruang bagi pencapaian
dua kebutuhan sekaligus, yakni terpeliharanya kemajemukan dan integrasi sosial
di tingkat masyarakat dan persatuan yang berkelanjutan di tingkat negara bangsa. Multikulturalisme menjadi alat baru bagi penyatuan
budaya-budaya yang berbeda-beda, dalam kerangka integrasi yang mempayungi
perbedaan-perbedaan tersebut dengan tanpa adanya unsur penggunaan pendekatan
represif, yang hanya bersifat sementara dan lebih memicu terjadinya
pemberontakan.
Abad 20,
telah digambarkan sebagai 'era migrasi'. Sejumlah orang telah melintasi
perbatasan, menjadikan setiap negara benar-benar lebih polietnis dalam
komposisinya. Abad itu juga telah dinyatakan sebagai sebagai 'abad
nasionalisme', karena semakin banyak kelompok bangsa di seluruh dunia
mengerahkan dan menyatakan identitas mereka.
Multikulturalisme
ketika dikaitkan dengan negarabangsa, seperti suatu upaya menata kembali negara
modern. Negara-bangsa sebagai gagasan baru dari bentuk dominan negara modern.
Di mana negara modern berkembang sebagai negara--aparatur-aparatur politik,
yang berbeda baik dari yang memerintah maupun yang diperintah, dengan yuridiksi
tertinggi atas daerah teritorial yang dibatasi dengan jelas, yang ditopang oleh
klaim untuk memonopoli kekeuasaan memaksa, dan yang menikmati legtimasi sebagai
hasil dari tingkat dukungan atau loyalitas minimum dari warga negara.
Dari sisi lain persoalan negara-bangsa berkaitan
dengan model kemunculan negara tersebut. Dengan kata lain, soal penyebutan
apakah negara-bangsa atau bangsa-negara? Negara-bangsa berkaitan dengan model
mutakhir dan bangsa-negara berkaitan dengan model ortodoks. Model ortodoks yang bermula dari adanya suatu
bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa ini membentuk satu negara
tersendiri, sedangkan model mutakhir berawal dari adanya negara terlebih
dahulu, yang terbentuk melalui proses tersendiri (penduduknya merupakan
kumpulan sejumlah kelompok suku bangsa dan ras. Perbedaan kedua model ini hanya
pada proses perkembangannya, di mana identitas bangsa baru lebih muncul pada
model mutakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..