Pendahuluan
Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di
hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun
privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat
dikatakan perempuan berada pada posisi
termarjinalkan. Sistem budaya
patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia
kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa
dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa
kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[1]
De Beauvoir memaparkan, penindasan terhadap perempuan itu ada karena
perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan peran sebagai istri dan ibu. Kedua
peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi
perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di
tengah masyarakat. Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja,
perempuan menolak menjadi objek. De
Beauvoir menyebut empat strategi perempuan untuk dapat mengaktualisasikan,
yaitu bekerja, menjadi intelektual, menjadi transformator dalam masyarakat, dan
menolak internalisasi sebagai objek dalam bentuk apa pun.[2]
Perempuan yang sedang
meniti karier selalu berupaya mengatasi hambatan dan kegagalan yang dia hadapi
sementara biasanya untuk kegiatan domestik mendapat bantuan orang lain, seperti
menitipkan anak kepada orangtua atau pekerja rumah tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi pada
birokrasi tidak hanya adanya perempuan di level atas struktur, tetapi harus ada
keterlibatan perempuan dalam penyusunan kembali institusionalisasi yang ada
yang berkaitan dengan peran jender. Adanya hirarki wewenang dalam birokrasi
sangat bertentangan dengan ide dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi
perempuan yang masih didominasi laki-laki akan mereproduksi masyarakat
patriarki jika tidak diberi perspektif perempuan.[3]
Seperti kebanyakan perempuan di penjuru dunia lainnya, kondisi dan posisi
perempuan Indonesia di organisasi publik dapat dikatakan memprihatinkan. Banyak
data dan fakta menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi gender dalam
lembaga negara, baik lembaga politik maupun birokrasi.
Permasalahan
Perempuan Indonesia
dimulai pada masa era Kartini yang menjadi semangat untuk melakukan sebuah tindakan
yang disebut emansipasi wanita. Dari masa inilah Indonesia mulai mengenal akan
pentingnya sosok wanita yang memperjuangkan pendidikan untuk para minoritas
pada zaman dahulu, tetapi zaman telah berubah dan wanita pun bisa melakukan
pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan (The UN Convention on
the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women – CEDAW) telah
diterima dan disahkan oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Lebih dari 30 tahun sejak diakuinya konvensi tersebut
secara internasional, lebih dari 170 negara di dunia telah meratifikasinya.
Konvensi ini bisa menjadi landasan untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan
laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan
kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri.[4]
Di sisi lain HAM dan Gender merupakan isu yang sangat sering
diperbincangkan saat ini, mengingat perempuan memiliki suara banyak serta
kemampuan yang setara. Persoaalan yang begitu bias yang nampak bagian dari
kehidupan suatu berbangsa dan bernegara. Namun jika dikaji lebih dalam mengenai gender akan lebih dirinci sebab ia memiliki akar dalam
struktur sosial yang berlangsung cukup lama. Pembagian peran publik untuk
laki-laki dan privat untuk perempuan, telah menggejala dan menjadi bagian di
aneka belahan dunia.
Indonesia meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak politik
perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. Sementara CEDAW diratifikasi pemerintah
Indonesia pada tahun 1984. Saparinah
Sadli menyelenggarakan forum diskusi mengenai pentingnya Konvensi Perempuan
sebagai instrumen untuk melakukan lobi untuk perubahan selama periode
pemerintahan Orde Baru. Saparinah
kemudian mendirikan Kelompok Kerja Pengawas Konvensi pada tahun 1994 bersama
dengan sejumlah kaum feminis, untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan
advokasi untuk implementasi penuh dari Konvensi Perempuan. Proses ini
dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie pada tahun 1999, dengan
meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan.[5]
Namun
fakta yang muncul, selama puluhan tahun semenjak kemerdekaan NKRI, perempuan
Indonesia tetap selalu menghadapi hambatan di dalam lingkungan publik dan ranah
pribadi, di mana secara politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi sering
mendapatkan ketimpangan perlakuan. Ketidaksetaraan perlakukan pada kaum
perempuan tertanam secara terstruktur di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan
pada era Orde Baru, hubungan dan peranan jender menjadi dimensi yang sangat
penting dalam kerangka kontrol pemerintah. Ranah publik dan ranah pribadi
secara tegas dan dibuat terpisah, dengan peran perempuan lebih ditekankan pada
ranah pribadi. Idealitas perempuan pada masa Orde Baru adalah sebagai istri dan
ibu rumah tangga. Doktrin ideologi ini bahkan sampai dikemukakan dalam
terminologi “ibuisme negara”.[6]
Ruang publik tidak
selamanya nyaman bagi perempuan. Ruang publik acapkali menempatkan perempuan
dalam kondisi keterpaksaan. Serangkaian norma, peraturan hingga alasan religius
secara sadar atau tidak telah menjadi jeruji bagi perempuan. Bukan berarti
jeruji keterpaksaan itu selalu menyiksa. Ada pula perempuan yang berserah dan
lantas menikmati saja keterpaksaannya di ruang publik. Perkembangan selalu
membawa perubahan. Dinamika pembangunan membawa dampak pada nilai dan norma
yang berlaku, adat istiadat, kebiasaan pandangan serta sikap perilaku individu
maupun kelompok. Dalam tahap pembangunan sekarang makin dirasakan tuntutan
peran aktif laki-laki dan perempuan. Kemitra sejajaran dapat terwujud apabilah
kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah merupakan
kenyataan. Hal ini bukan hal baru karena sudah ada dalam kelompok masyarakat
tertentu.[7]
Kesamaan hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan yang di butuhkan dalam pembangunan nasional.
Oleh kerena itu, perempuan makin diharapkan mau dan mampu berperan ganda,
didalam rumah tangga, di dalam masyarakat dan di dunia kerja, selain laki-laki. Kondisi kualitas profesionalisme rata-rata birokrasi masih belum memuaskan,
salah satu penyebabnya adalah karena praktik manajemen kepegawaian yang belum
benar atau menyimpang dari prinsip-prinsip
quality control manajemen sumber daya
manusia. Padahal dari semua pakar manajemen yang berpengaruh selalu
mengingatkan hal yang sangat mendasar, sumber daya manusia merupakan subjek sekaligus objek dan kekayaan yang
terpenting dari setiap kegiatan dan pembangunan pada abad modern dengan
pendekatan efektivitas yang lebih: efisien, demokratis, terbuka, dan rasional.[8]
Untuk
mencapai kualifikasi kapasitas yang sama-sama dibutuhkan, maka birokrat sebagai
salah satu unsur kekuatan daya saing bangsa, bahkan sebagai penentu utamanya,
harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi demi pencapaian tujuan, tidak saja
profesionalitas dan pembangunan citra
pelayanan publik, tetapi juga sebagai perekat pemersatu bangsa. Jumlah
perempuan Indonesia yang melebihi separuh penduduk Indonesia apabila didukung
oleh kualitas yang tinggi, akan
merupakan potensi produktif dan menjadi modal bagi pembangunan. Pada hakekatnya
sasaran program pembangunan perempuan diarahkan untuk mengembangkan dan menantang
berbagai potensi yang ada pada diri perempuan yang memungkinkan dirinya dapat
memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki terhadap sumber daya
pembangunan.[9]
Saat ini
dapat dilihat kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai peran dan posisi
strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia
merupakan sumber daya potensial, apabila ditingkatkan kualitasnya dan diberikan
peluang kesempatan yang sama untuk berperan. Meskipun berbagai kemajuan peran
perempuan telah berhasil di capai, namun saat ini persentasi jumlah perempuan
yang berhasil menduduki posisi strategis sebagai pengambil keputusan masih
sangat kecil.[10] Rendahnya
jumlah perempuan duduk di jabatan tinggi ini terkendala dengan tidak adanya
kebijakan Affirmative Action oleh
pemerintah untuk menempatkan perempuan duduk dijabatan strategis itu. Oleh
karena itu dalam perkembangan birokrasi di Indonesia dan berbagai hambatan
perempuan untuk beraktifitas di birokrasi maka muncul permasalahan dalam
makalah ini yaitu: Bagaimakah Kebijakan
Affirmative Action Dalam Perkembangan Perempuan Indonesia Di Birokrasi?
Kerangka Teori
Affirmative action dapat
diartikan sebagai “A policy or a program
for correcting the effects of past discrimination through active measures to
ensure equal opportunity in the employment or education of member of certain
groups, as women, black, etc”.[11]
(Kebijakan atau program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi
di masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin terciptanya kesempatan yang
setara, misalnya di dalam pekerjaan maupun pendidikan di kalangan tertentu
seperti perempuan, kaum kulit hitam dan lainnya).
Menurut Carol Lee Bacchi tujuan dari
program affirmative action adalah
untuk menguatkan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan nontradisional, yaitu
pekerjaan yang secara tradisional dikerjakan oleh laki-laki, dan untuk
meningkatkan akses mereka pada posisi-posisi yang mendapatkan upah dan status
lebih tinggi. Ini berarti hilangnya praktek kursus pelatihan, review bagi
prosedur personel untuk mengeluarkan kelompok-kelompok yang didasarkan pada
praktek diskriminasi, setting untuk mencapai keterwakilan sesuai dengan
kelompok yang dituju, dan paling kontroversial yaitu mentargetkan perekrutan,
mempromosikan, terkadang dengan kuota.[12]
Affirmative action adalah kebijakan
khusus yang bersifat sementara dari sejumlah kebijakan untuk meningkatkan peran
serta perempuan di dunia sosial, ekonomi dan politik. Pippa Norris menyatakan setidaknya ada tiga
hambatan bagi perempuan dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan yang sama
dengan pria yakni:[13]
1. Hambatan
struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial.
2. Hambatan
institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, sistem pemilu
3. Hambatan
kultural yakni budaya politik patriarkhi, dan pandangan masyarakat terhadap isu
gender dalam politik.
Pembahasan
Manusia merupakan faktor
paling menentukan dalam setiap organisasi, termasuk dalam hal birokrasi
pemerintah. Birokrasi ini dikendalikan sumber daya aparaturnya sebagai birokrat
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pembangunan perempuan dapat dilihat dari kiprah
perempuan Indonesia dalam berbagai peran dan posisi strategis. Keragaman peran
tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia merupakan sumber daya potensial
apabilah ditingkatkan kualitasnya dan diberikan peluang kesempatan yang sama
untuk berperan. Untuk menghapuskan kendala yang menjadi hambatan utama
optimalisasi peran perempuan Indonesia, dan upaya antisipasi terhadap
perkembangan kemajuan global yang sangat cepat dan penuh persaingan tajam, maka
telah ditetapkan paradigm dalam pemberdayaan perempuan. Adapun perubahan
paradigma tersebut pada hakekatnya adalah pembangunan berwawasan gender di
semua aspek kehidupan yaitu kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Ada beberapa fakta
menyangkut Affirmative action dalam representasi perempuan di dalam
birokrasi pemerintahan. Sebagaimana Pippa Norris menyatakan setidaknya
ada tiga hambatan bagi perempuan dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan
yang sama dengan pria yakni: Hambatan struktural, Hambatan institusional, Hambatan
cultural. Ketiga fakta menyangkut
representasi perempuan di dalam birokrasi pemerintahan yaitu:
Pertama, perempuan sulit meraih posisi tertinggi karier birokrasi karena status
keperempuanannya. Dalam tata kelola pemerintahan lokal, terutama di daerah,
sangat sulit atau bahkan mustahil perempuan mampu berkompetisi meraih jabatan
puncak birokrasi. Penyebabnya, kultur feodalisme dan patriarki yang masih
menjadi domain kekuasaan kaum laki-laki. Perempuan kiprahnya selalu
dipersoalkan dalam tatanan masyarakat yang masih memegang budaya patriarki.
Perempuan sering kali dianggap sebagai pelengkap dalam berbagai aktivitas dan
relasi sosial. Perempuan tidak pernah direstui tampil menjadi pemimpin dalam
bidang kerja yang digeluti. Demokrasi yang memungkinkan adaptasi nilai-nilai
kesetaraan jender di ruang publik, penerapannya masih berjalan
setengah-setengah dalam menyetarakan posisi perempuan dengan laki-laki.
Perempuan tetap mengalami fase marjinalisasi di ruang publik.
Dalam lingkup birokrasi,
perempuan masih dianggap sebagai kanca
wingking dalam relasi kerja yang masih kentara menempatkan dominasi peran
laki-laki. Wujudnya, acap kali karier perempuan buntu ketika menjelajahi jalan
menuju pucuk pimpinan birokrasi. Hanya sedikit perempuan yang mampu menapak
menjadi kandidat pemimpin di lingkungan birokrasi pemerintahan, apalagi menjadi
pimpinannya. Hal tersebut menjadi persoalan dalam mengakomodasi program
kesetaraan jender dalam tata kelola pemerintahan.
Kedua, secemerlang karier dan sekeras apa pun kerja perempuan, masih tidak
dianggap ”pas” dan ideal apabila menjadi sosok pemimpin dalam birokrasi.
Stereotip jender menempatkan perempuan seolah tidak memiliki karakter yang kuat
dan mumpuni sebagai pemimpin. Perempuan diidealkan sekadar sebagai pamong praja
yang mengurusi persoalan administrasi. Ketiga,
perempuan terhambat persoalan ”biologis” dan definisi seksualitasnya karena
konstruksi sosial menyebabkan waktu mereka sering tersita oleh problem
domestik. Hal tersebut dianggap sebagai kendala meraih jenjang karier bagi
perempuan.[14]
Banyak daerah pada era
otonomi daerah belum mengakomodasi program tata kelola pemerintahan lokal yang
berparadigma keadilan jender. Andaipun paradigma tata kelola pemerintahan lokal
dan birokrasi dijalani mendekati gagasan keadilan jender, praktiknya masih
setengah hati. Tidak ada keikhlasan dari para laki-laki yang lebih mendominasi
jenjang karier memberi ”jalan tol” bagi pemuliaan karier perempuan.
Penelitian lembaga
Kemitraan (Partnership For Governance
Reform) tahun 2003 tentang jender dan tata kelola pemerintahan lokal
menyajikan data ironis. Perempuan bisa mencapai karier politik birokrasi
melalui kompetisi demokratik semacam pemilihan kepala daerah langsung
(pilkadasung), tetapi tidak mungkin—sangat jarang—mampu meraih puncak karier
sebagai pemimpin administrasi dan kebijakan pemerintahan di daerah. Dengan kata
lain, banyak perempuan bisa meraih posisi sebagai bupati/gubernur/wali kota
melalui pilkada langsung, tetapi sedikit atau minimal yang bisa menjadi
sekretaris daerah.[15] Hal
tersebut menunjukkan, perempuan dalam lingkup kerja birokrasi di banyak daerah
belum dianggap sebagai mitra sejajar, melainkan sebagai saingan para abdi
negara berkelamin laki-laki. Kultur kesetaraan yang substansial dan bukan
wacana belum dijalani oleh tata kelola birokrasi walaupun masyarakat pemilih
tak melihat ada kendala perempuan menjadi pemimpin.
Birokrasi yang memiliki
ikatan sejarah kolonialis mataraman masih mengedepankan superioritas laki-laki.
Masih kuat anggapan tidak adil jender di daerah bahwa laki-laki adalah
pemimpin, memiliki kekuatan mengendalikan berbagai sumber daya manusia, dan
memiliki talenta kepemimpinan birokrasi yang jauh lebih unggul dibandingkan
dengan perempuan. Hal tersebut akan memandulkan potensi dan ekspresi talenta
kepemimpinan perempuan. Sudah waktunya situasi tersebut diakhiri dengan
perubahan kultur dan kebijakan struktural yang pro keadilan jender. Kultur
kesetaraan adalah keniscayaan apabila masyarakat dan para pengelola negara
memiliki keinginan kuat memajukan fungsi birokrasi sebagai institusi pengemban
amanat pelayanan publik.
Semangat pelayanan publik
sendiri dalam dimensi filosofis sangat selaras dengan karakter perempuan.
Perempuan adalah sosok kolektif yang memiliki jiwa pamomong yang bisa ”mengasuh” apa yang ditempatkan sebagai
kepentingan masyarakat. Perempuan sebagai pemimpin birokrasi administrasi
memiliki nilai lebih karena mampu memahami apa yang dinamakan perasaan publik.
Perasaan publik tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi yang menjadi salah
satu tolok ukur persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan masyarakat mengenai
tata kelola pemerintahan era otonomi daerah. Berikut tabel perbandingan
Perempuan dan Laki-laki sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan umur.
Tabel
Distribusi Jumlah PNS Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2010
|
Sumber: BKN 2010
Tabel
Jumlah PNS Dirinci Menurut Kelompok
Umur dan Jenis Kelamin 2011
Sumber:
BKN 2011
Dari tabel diatas dapat
dilihat ada peningkatan jumlah perempuan yang menjadi Pegawai Negeri di
usia-usia produktif. Bahkan jumlah perempuan yang menjadi Pegawai Negeri diusia
21-35 jauh lebih banyak dari pada pegawai negeri laki-laki. Peningkatan jumlah
pegawai negeri perempuan ini dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel
Pertumbuhan jumlah
PNS dirinci menurut Jenis Kelamin tiap Tahunnya - Desember 2010
Sumber: BKN 2010
|
Dari angka-angka
tersebut, walupun terlihat adanya trend ke depan yang memberikan ruang bagi
kaum perempuan untuk lebih beraktualisasi, namun Nampak pula bahwa masih ada
problem ketidaksetaraan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan yang ditandai
dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan yang lebih
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data-data berikut.
Tabel
Distribusi Jumlah PNS
dirinci menurut Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin - Desember 2010
|
Sumber: BKN
2010
Tabel
Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut
Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin 2011
|
Sumber : BKN
2011
Mencermati data-data yang
menggambarkan aktualisasi kaum perempuan khususnya dalam jajaran birokrasi
pemerintahan walaupun peluang perempuan perempuan untuk menduduki jabatan
secara prosentase masih relative rendah, namun terlihat pula adanya trend kedepan
yang secara actual maupun normative ternyata memberikan peluang nyata bagi kaum
perempuan untuk dapat beraktualisasi secara lebih luas.
Jika demikian apa yang
diperlukan, satu diantaranya adalah kaderisasi. Kebutuhan untuk mempersiapkan
kader perempuan yang diperlukan berlandaskan pada modal dasarnya sebagai
professionalis birokrat atau birokrat spesialis pada jajaran pemerintah. Untuk
memenuhi kebutuhan atas kader yang baik ini maka diperlukan peningkatan tingkat
pendidikan bagi perempuan yang menjadi birokrat, berikut data pegawai
berdasarkan tingkat pendidikannya.
Tabel
Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut
Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin 2011
|
Sumber
BKN 2011
Dari
data diatas dapat dilihat sudah ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
yang menjadi birokrasi dilihat dari tingkat pendidikannya. Namun jumlah
perempuan yang berpendidiakan Strata II dan Strata III masih sangat kurang dibandingkan laki-laki. Kurangnya
perempuan di birokrasi yang berpendidikan Strata II dan Strata III ini
membuktikan bahwa masih sedikitnya keberadaan perempuan yang menjabat jabatan
tinggi didalam struktur birokrasi. Oleh karena itu diperlukannya kesetaran
kader laki-laki dan perempuan yang baik agar sesuai dengan esensi kebijakan
afirmatif yaitu mengeliminasi prasangka, pengucilan, dan pengabaian yang
melahirkan diskriminasi melalui perlakuan yang adil dan fair. Kebijakan
afirmatif merupakan langkah proaktif dan progresif untuk menghapus perlakuan
diskriminasi dengan menilai dan menghargai seseorang berdasarkan keahlian atau
kemampuan individual, bukan persepsi stereotip yang menipu.[16]
Dalam
konteks jender, kebijakan afirmatif tidak sama-sebangun dengan pemberian
preferensi, apalagi hak-hak istimewa, kepada kaum perempuan. Kebijakan
afirmatif juga tak berarti memberi peluang kaum medioker (second best groups) untuk menempati posisi tertentu atas nama
keterwakilan. Untuk bisa menduduki jabatan publik, kriteria dasar seperti
kualitas, kompetensi, dan keahlian harus menjadi persyaratan mutlak bagi
laki-laki maupun perempuan. Jadi, kebijakan afirmatif dimaksudkan untuk membuka
peluang yang sama dan perlakuan setara bagi siapa pun, berprinsip equal opportunity dengan menghargai dan
mengakui keragaman latar belakang sosial budaya untuk berkompetisi secara sehat
dan terbuka dalam memperebutkan posisi di arena publik.
Penutup
Setelah beberapa zaman
telah dilewati dan diperjuangkan oleh wanita demi kesetaraan derajat dan
kedudukan. Maka wanita berhak menduduki suatu jabatan di manapun yang mempunyai
penghargaan atas mereka. Ada peran penting yang dimainkan oleh
wanita terhadap aktivitas kehidupan Bangsa dan peran tersebut telah dibuktikan
sendiri oleh beberapa aktivis wanita. Birokrasi sendiri termasuk wilayah kaum
wanita yang dahulu dianggap tabu oleh para laki-laki, tetapi sekarang wanita
mendominasi hampir semua aspek birokrasi. Nyatanya wanita lebih baik dalam
melakukan pekerjaan birokrasi yang menyangkut masyarakat luas, karena wanita lebih
cenderung sifat yang lembut dalam melakukan aktivitas pekerjaan.
Kesetaraan gender (gender equality) adalah keadaan dimana perempuan dan
laki-laki menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak
azasinya secara penuh dan sama-sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam
pembangunan. Kesetaraan adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap
persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran yang
mereka lakukan. Program pemberdayaan perempuan ke depan, memang tidak mungkin
berlangsung dan di usahakan secara terencana dan terarah tanpa melanjutkan
upaya kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Menyadari pentingnya
hubungan kemitra sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, sejak
awal perencanaan program sudah harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan
serta peran laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan di
segala bidang dan di tingkatkan.[17]
Pembangunan nasional yang pada hakekatnya membangun
manusia Indonesia seutuhnya, menghadapi permasalahan kebutuhan, kepentingan
dan harapan yang
berbeda. Permasalahan tersebut
sering bersumber tidak saja pada perbedaan kedudukan melainkan juga pada adanya
perbedaan antara fungsi serta peranan perempuan dan laki-laki. Fungsi
berdasarkan penilaian ”pantas” dan “tidak pantas” bagi perempuan atau
laki-laki. Hal itu bertumpu pada kebebasan masyarakat di berbagai daerah
masing-masing, perbedaan yang bervariasi bagi kelompok masyarakat ataupun
daerah yang berbeda. Dengan perkataan lain, perbedaan tersebut mengikuti
rekayasa masyarakat yang dapat sama atau berbeda-beda menurut dinamika
perkembangan wilayah dan daerah, dari waktu ke waktu.[18]
Kebijakan affirmative
action terhadap perempuan di Indonesia sudah mulai meningkat, dimana dapat
dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan di birokrasi. Meskipun
demikian keberadaan perempuan di birokrasi belum banyak yang berada di jabatan
tinggi, padahal dengan keberadaanya perempuan duduk dijabatan tinggi dapat
mempengaruhi kebijakan yang dibuat dalam rangka memahami apa yang dinamakan
perasaan publik. Perasaan publik tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi yang
menjadi salah satu tolok ukur persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan
masyarakat mengenai tata kelola pemerintahan.
Daftar Pustaka
Bylesjo, Cecilia &
Julie Ballington, Laporan Konferensi:
Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, International IDEA,
Stockholm, 2003.
Edmond Jr, Alfred, 25 Years of Affirmative Action, Black
Enterprise Magazine, February, 1995
Lee Bacchi, Carol, The Politics of Affirmative
Action: ‘Women’, Equality and Category Politics, London: Sage
Publications, 1993.
May Robinson, Kathryn
& Sharon Bessell, Women in Indonesia:
Gender, Equity and Development, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore, 2002.
Norris, Pippa & Joni
Lovenduski, Political Recruitment:
Gender, Race and Class in the British Parliament, Cambridge University
Press, New York, 1995.
Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum Perempuan, Jurnal
Ilmu Administrasi No 1, Volume 1, 2004.
Yuliani, Sri, Pengembangan Karier
Perempuan Di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari
Perspektif Gender Surakarta: Jurnal
Pusat Studi Pengembangan Gender UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004.
Website
http://www.bkn.go.id/. Di akses 15 desember 2011, pukul
23.18 WIB.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif. diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00 WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/. Di akses 15 desember 2011,
pukul 23.18 WIB.
http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi. Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18 WIB.
[1] Sri Yuliani, Pengembangan Karier Perempuan Di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari Perspektif Gender (Surakarta: Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender UNS WanodyaNo.16
Tahun XIV Tahun 2004).
[2] http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi.
Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18
WIB.
[3] Ibid.
[4]
Cecilia Bylesjo & Julie Ballington, Laporan
Konferensi: Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia (Stockholm:
International IDEA, 2003), hlm. 3.
[5]
Kathryn May Robinson & Sharon Bessell,
Women in Indonesia: Gender, Equity and Development (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002),
hlm. 6.
[6] Julia
Suryakusuma, 1996 di dalam Kathryn May Robinson & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender, Equity and
Development (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2002), hlm. 3.
[7]
Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum
Perempuan (Jurnal Ilmu Administrasi No 1, Volume 1, 2004), hlm. 82.
[8] Ibid. hlm. 76.
[9] Ibid., hlm. 77
[10] Ibid.
[11]
Alfred Edmond Jr., 25 Years of
Affirmative Action (Black Enterprise Magazine, February, 1995), hlm. 155
[12] Carol Lee Bacchi, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality and Category
Politics (London: Sage Publications, 1993), hlm. 15
[13]
Pippa Norris & Joni Lovenduski, Political
Recruitment: Gender, Race and Class in the British Parliament (New York: Cambridge
University Press, 1995), hlm. 242.
[14] http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/.
Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18
WIB.
[15] Ibid.
[16]Amich
Alhumami, Mitos Kebijakan Afirmatif,
bersumber dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif, diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00 WIB.
[17]
Sedarmayanti, lock cit…, hlm. 81
[18] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Boleh mengambil isi tulisan ini, tapi hargailah kekayaan intelektual penulis dengan mencantumkan nama penulis". Admin..